Waktu sekarang Fri Apr 19, 2024 4:19 pm

Ditemukan 33 data yang cocok

Dars Shahih Bukhari ke-286

Berikut ini adalah ringkasan pengajian Shahih Bukhari pada Ahad, 2 Agustus 2009 yang disampaikan oleh Syaikh Na’im Arqsusi di Masjid Al-Iman, Mazra’ah:

33. Bab Barang Dalam Zakat

• Thawus berkata: Muadz berkata kepada penduduk Yaman: Datanglah kepadaku dengan membawa barang, (yaitu) pakaian khamis ataupun yang telah terpakai (bekas), untuk disedekahkan sebagai ganti dari gandum dan jagung. Yang demikian itu lebih mudah bagi kalian dan lebih baik bagi para sahabat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam di Madinah.

• Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Adapun Khalid, ia telah menyerahkan baju dan peralatan perang lainnya di jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

• Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda (kepada para sahabiyat): “Bersedekahlah walaupun dari perhiasan kalian.” Beliau tidak mengecualikan sedekah yang wajib dengan yang sunnah. Maka para wanita (sahabiyat) itu melepaskan anting dan kalung mereka tanpa mengkhususkan (yang terbuat dari) emas atau perak dari barang-barang itu.

1448. Telah memberitahukan kepada kami Muhammad bin Abdillah, ia berkata: Telah memberitahukanku ayahku, ia berkata: Telah memberitahukanku Tsumamah bahwa Anas bin Malik memberitahukan kepadanya bahwa Abu Bakar telah menulis surat kepadanya tentang apa yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada Rasul-Nya Shallallahu Alaihi Wasallam: “Barangsiapa sedekahnya telah mencapai bintu makhad (anak betina yang berusia satu tahun) sementara ia tidak memilikinya, dan hanya memiliki bintu labun (anak betina yang berusia dua tahun), maka diterima darinya dan seorang penarik zakat (mushadiq) membayar dua puluh Dirham atau satu ekor kambing. Jika tidak memiliki bintu makhad sebagaimana mestinya, sedangkan ia hanya memiliki ibnu labun (anak jantan berusia dua tahun), maka diterima darinya tanpa diberikan kepadanya sesuatu apapun.”

1449. Telah memberitahukan kami Muammal: Telah memberitahukan kami Ismail dari Ayyub dari Atha’ bin Abi Rabah, ia berkata: Ibnu Abbas berkata: Aku bersaksi terhadap Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bahwa beliau shalat sebelum khutbah, lalu melihat bahwa beliau belum menyampaikan kepada para wanita, beliau pun mendatangi mereka bersama Bilal sang pembawa pakaiannya, lalu belian memberikan wejangan kepada mereka dan memerintahkan mereka bersedekah. Para wanita itu pun melepaskan ininya. Ayyub memberi isyarat ke arah telinga dan lehernya.”

Keterangan:

Yang dimaksud barang (‘ardh) adalah segala sesuatu selain emas dan perak, karena keduanya dinamakan ‘ain.

Al-Khamis adalah pakaian yang panjangnya lima lengan. Maksudnya adalah pakaian yang ukurannya kecil. Sedangkan Labis adalah pakaian (bekas) yang telah terpakai sebelumnya. Maksud dari perkataan Muadz: “Yaitu pakaian Khamis ataupun Labis”, adalah “Bayarkanlah kepadaku zakat kalian dalam bentuk barang yang berupa pakaian, baik yang besar maupun kecil, baru maupun bekas.”

“Karena yang demikian itu lebih mudah bagi kalian” karena penduduk Yaman terkenal dengan pengekspor pakaian.

Dari bab tersebut, Imam Bukhari mengambil kesimpulan bahwa zakat boleh ditunaikan dalam bentuk nilai sebagai ganti dari emas dan perak. Ini juga merupakan mazhab Imam Abu Hanifah.

Sedangkan Imam Malik dan Imam Syafii tidak membolehkan pembayaran zakat dalam bentuk barang, melainkan harus dalam bentuk emas atau perak.

Hujjah Imam Bukhari:

Muadz bin Jabal yang ditugaskan menjadi Gubernur Yaman pada saat itu mengambil zakat penduduk Yaman dalam bentuk pakaian sebagai ganti dari gandum dan jagung. Dengan alasan “Lebih mudah bagi kalian” karena mereka terkenal dengan pengrajin pakaian, “dan lebih bermanfaat bagi sahabat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam di Madinah” karena penduduk Madinah kebanyakan berprofesi sebagai petani yang lebih membutuhkan pakain daripada gandum dan jagung.

Hadits tersebut juga menjadi dalil diperbolehkannya mengambil zakat dari suatu negeri lalu membagikannya kepada para fakir miskin di negeri lain yang membutuhkan, dengan syarat fakir miskin negeri yang diambil zakatnya telah tercukupi kebutuhannya. Dalam kasus di atas, fakir miskin Yaman tidak lagi membutuhkan pakaian karena mereka memang terkenal sebagai pengrajin dan pengekspor pakaian sehingga zakat pakaian mereka boleh dibagikan kepada penduduk Madinah yang saat itu lebih membutuhkan pakaian. Di samping itu, penduduk Madinah terkenal dengan profesi mereka sebagai petani yang memiliki banyak cadangan gandum dan jagung sehingga mereka tidak membutuhkan lagi kedua bahan makanan tesebut.

Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Adapun Khalid…dst”. Hadits tersebut adalah ringkasan dari hadits panjang yang bercerita tentang pengaduan Umar bin Khattab yang ditugaskan oleh Nabi menjadi penarik zakat. Ia mengadu kepada Nabi bahwa tiga orang di antara sahabat tidak mau membayar zakat, di antaranya adalah Khalid bin Walid. Lalu Nabi menjawab bahwa Khalid telah menyerahkan baju dan peralatan perangnya di jalan Allah. Artinya, ia telah menyerahkan zakatnya dalam bentuk barang yaitu baju dan peralatan perang tersebut, jadi ia tak perlu lagi membayarnya dalam bentuk uang.

Juga sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam kepada para sahabiyat, “Bersedekahlah walaupun dari perhiasan kalian.” Di sini beliau tidak membedakan antara sedekah yang wajib (yaitu zakat) dan sedekah yang sunnah, sehingga menunjukkan bolehnya membayar zakat dalam bentuk barang, dengan alasan para sahabiyat itu langsung melepaskan perhiasan-perhiasan mereka, baik anting maupun kalung tanpa mempedulikan terbuat dari apa perhiasan tersebut.

Dari hadits nomor 1448, tampak jelas bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam memperbolehkan seorang penarik zakat (mushadiq) menarik zakat dari orang yang telah sampai nishabnya bintu makhad sedangkan ia hanya memiliki bintu labun, untuk mengambil bintu labun tersebut dengan mengembalikan uang sebesar duapuluh Dirham atau dua ekor kambing, karena bintu labun lebih tua dari bintu makhad.

Dalam hadits nomor 1449, setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam memerintahkan para sahabiyat untuk bersedekah, mereka langsung melepaskan perhiasan mereka yang terdiri anting dan kalung. Hal ini menunjukkan bolehnya mengambil zakat dalam bentuk barang sebagai ganti uang.

Wallahu a’lam.
by Admin
on Tue Aug 04, 2009 7:04 pm
 
Search in: Hadits dan Mustholah
Topik: Dars Shahih Bukhari ke-286
Balasan: 0
Dilihat: 894

Kamu Makin Cantik Kalau Marah

Buat yang udah nikah, yang mau nikah atau yang punya niat untuk nikah.

Bertengkar adalah fenomena yang sulit dihindari dalam kehidupan berumah tangga. Kalau ada orang yang bilang: "Saya tidak pernah bertengkar dengan isteri saya!" Kemungkinannya ada dua, boleh jadi dia belum beristeri, atau dia sedang berbohong. Yang jelas, kita perlu menikmati saat-saat bertengkar itu, sebagaimana lebih menikmati lagi saat-saat tidak bertengkar.

Bertengkar itu sebenarnya adalah sebuah keadaan diskusi, hanya saja diluapkan dalam muatan emosi yang tinggi. Kalau tahu etikanya, dalam bertengkarpun kita bisa memetik hikmah. Bagaimana tidak, justru dalam pertengkaran, setiap kata yang terucap didorong oleh perasaan yang sangat dalam, yang mencuat dengan desakan energi yang tinggi, pesan pesannya terasa kental, lebih mudah dicerna ketimbang basa-basi tanpa emosi.

Salah satu di antaranya adalah tentang apa yang harus dilakukan kala kita bertengkar. Dari beberapa perbincangan hingga waktu yang mematangkannya, tibalah kami pada sebuah Memorandum of Understanding (MoU), bahwa kalau pun harus bertengkar, maka:

1. Kalau bertengkar tidak boleh berjamaah.

Cukup seorang saja yang marah-marah, yang terlambat mengirim sinyal nada tinggi harus menunggu sampai yang satu reda. Untuk urusan marah pantang berjamaah. Seorang saja sudah cukup membuat rumah jadi meriah.

Ketika ia marah dan saya mau menyela, ia langsung menyangkal, "STOP! Ini giliran saya!” Dan saya pun harus diam sambil istighfar. Sambil menahan senyum saya berkata dalam hati :

"Kamu makin cantik kalau marah, makin energik..." Dan dengan diam itupun saya merasa telah beramal sholeh, karena telah menjadi jalan bagi tersalurkannya luapan perasaan hati seseorang yang saya cintai. "Duh cintaku... bicaralah terus, kalau dengan itu hatimu menjadi lega. Aku masih setia menunggu senyumanmu."

Demikian juga kalau pas kena giliran saya yang “olah raga otot muka”, saya menganggap bahwa distorsi hati, nanah dari jiwa yang tersinggung adalah sampah, ia harus segera dibuang agar tak menebar kuman, dan saya tidak berani marah sama siapa siapa kecuali pada isteri saya Smile maka kini giliran dia yang harus bersedia jadi keranjang sampah.

Pokoknya khusus untuk marah, memang tidak harus berjamaah, sebab masih ada sesuatu yang lebih baik untuk dilakukan secara “berjamaah” selain marah.

2. Marahlah untuk persoalan itu saja, jangan mengungkit-ungkit masalah yang telah berlalu.

Siapapun kalau diungkit kesalahan masa lalunya, pasti terpojok, karena masa silam adalah bagian dari sejarah dirinya yang tidak bisa ia ubah. Siapapun tidak akan suka dinilai dengan masa lalunya. Sebab harapan terbentang mulai hari ini hingga ke depan. Dalam bertengkar pun kita perlu menjaga harapan, bukan menghancurkannya. Sebab pertengkaran di antara orang yang masih mempunyai harapan, hanyalah sebuah foreplay, sedangkan pertengkaran dua hati yang patah asa akan menghancurkan peradaban cinta yang telah sedemikian mahal dibangunnya.

Kalau saya terlambat pulang dan ia marah, maka kemarahan atas keterlambatan itu sekeras apapun kecamannya, adalah "ungkapan rindu yang keras". Tapi bila itu dikaitkan dengan seluruh keterlambatan saya, minggu lalu, awal bulan kemarin dan dua bulan lalu, maka itu yang membuat saya terpuruk jatuh.

Bila teh yang disajinya tidak manis (saya termasuk penyuka gula), sepedas apapun saya marah, maka itu adalah "harapan ingin disayangi lebih tinggi". Tapi kalau itu dihubungkan dengan kesalahannya kemarin dan tiga hari yang lalu, plus tuduhan "Kamu sudah tidak suka lagi ya sama saya?", maka saya telah menjepitnya dengan hari yang telah pergi, saya menguburnya di masa lalu. Ups, saya telah membunuhnya, membunuh cintanya. Padahal kalau cintanya mati, saya juga yang susah...

OK, marahlah tapi untuk kesalahan semasa, saya tidak hidup di minggu lalu, dan ia pun milik hari ini.

3. Kalau marah jangan bawa bawa-bawa keluarga!

Saya dengan isteri saya terikat baru beberapa masa, tapi saya dengan ibu dan bapak saya hampir berkali lipat lebih panjang dari itu. Demikian juga ia dan kakak serta pamannya. Dan konsep Quran, seseorang itu tidak menanggung kesalahan fihak lain (QS.53:38-40).

Saya tidak akan terpancing marah bila cuma saya yang dimarahi, tapi kalau ibu saya diajak serta, jangan coba-coba. Begitupun dia, semenjak saya menikahinya, saya telah belajar mengabaikan siapapun di dunia ini selain dia, karenanya mengapa harus bawa bawa barang lain ke kancah "awal cinta yang panas ini".

Kata ayah saya: "Teman seribu masih kurang, musuh satu terlalu banyak."

Memarahi orang yang mencintai saya, lebih mudah dicari maafnya daripada ngambek pada yang tidak mengenal hati dan diri saya. Dunia sudah diambang pertempuran, tidak usah ditambah tambah dengan memusuhi mertua!

4. Kalau marah jangan di depan anak anak!

Anak kita adalah buah cinta kasih, bukan buah kemarahan dan kebencian. Dia tidak lahir lewat pertengkaran kita, karena itu, mengapa mereka harus menonton komedi luar rumah kita.

Anak yang melihat orangtuanya bertengkar, bingung harus memihak siapa. Membela ayah, bagaimana ibunya. Membela ibu, tapi itu kan bapak saya.

Ketika anak mendengar ayah ibunya bertengkar (based on true story):

Kata ibu, "Saya ini capek, saya bersihkan rumah, saya masak, dan kamu datang main suruh begitu, emang saya ini babu?!"

Kata bapak, "Saya juga capek, kerja seharian, kamu minta ini dan itu dan aku harus mencari lebih banyak untuk itu, saya datang hormatmu tak ada, emang saya ini kuda?!”

Kata Anak, "Yaaa ... ibu saya babu, bapak saya kuda .... terus saya ini apa?"

Kita harus berani berkata: "Hentikan pertengkaran!" ketika anak datang, lihat mata mereka, dalam binarannya ada rindu dan kebersamaan. Pada tawanya ada jejak kerjasama kita yang romantis, haruskah ia mendengar kata basi hati kita?

5. Kalau marah jangan lebih dari satu waktu shalat!

Pada setiap tahiyyat kita berdoa: "Assalaa-mu'alaynaa wa 'alaa'ibaadilahissholiihiin". Ya Allah damai atas kami, demikian juga atas hamba hambamu yang sholeh. Nah, andaikan setelah salam kita cemberut lagi, setelah salam kita tatap isteri kita dengan amarah, maka kita telah mendustaiNya, padahal nyawamu ditanganNya.

OK, marahlah sepuasnya di sore hari, tapi habis maghrib harus terbukti lho itu janji dengan Ilahi… Marahlah habis shubuh, tapi jangan lewat waktu zhuhur, atau habis maghrib sampai isya… Atau habis isya sampai....?

Nnngg....... Ah, kayaknya kita sepakat kalau habis isya sebaiknya memang tidak bertengkar ...

6. Kalau kita saling mencintai, kita harus saling memaafkan.

Hikmah yang ini saya dapat belakangan, ketika baca di koran (resensi sebuah film). Tapi yang jelas memang begitu, selama ada cinta, bertengkar hanyalah "proses belajar untuk mencintai lebih intens".

Ternyata ada yang masih setia dengan kita walau telah kita maki-maki. Ini saja, semoga bermanfaat. "Dengan ucapan syahadat itu berarti kita menyatakan diri untuk bersedia dibatasi". Selamat tinggal kebebasan tak terbatas yang dipongahkan manusia pintar.

January 2004
Author: Unknown
Wiwin [mailto:wiwin@mkt.fujitsu.co.id]
by Admin
on Thu Jul 23, 2009 11:04 pm
 
Search in: Artikel Islami
Topik: Kamu Makin Cantik Kalau Marah
Balasan: 0
Dilihat: 654

Haruskah Kita Bercerai?

Saat aku dilamar suamiku, aku merasa bahwa akulah wanita yang paling beruntung di muka bumi ini. Bayangkan, dari sekian juta wanita di dunia ini, aku yang dia pilih untuk jadi isterinya. Kalau aku persempit, dari sekian banyak wanita di negara ini, di propinsi ini, di kota ini, di rumah ibuku yang anak perempuannya 3, aku yang paling bungsu yang dipilih untuk jadi isterinya! Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu.

Aku berusaha keras menjadi isteri yang baik, patuh pada suami, menjaga kehormatanku sebagai isterinya, menjadi ibu yang baik, membesarkan anak-anakku menjadi sholih dan sholihah. Aku memanfaatkan pernikahanku sebagai ladang amalku, sebagai tiket ke surga.

Walaupun begitu... hidup seperti halnya makanan penuh dengan bumbu. Ada bumbu yang manis, yang pahit, yang pedas, dan lain-lain. Aku juga menghadapi yang namanya ketidakcocokan atau selisih paham dengan suamiku, baik itu tidak sepaham, kurang sepaham, agak sepaham, hampir sepaham, atau apapunlah itu. Tapi aku tahu apa yang harus aku lakukan. Aku mencoba berpikiran terbuka, mengakui kebenaran bila suamiku memang benar dan mengakui kesalahan bila aku memang salah. Aku mencoba bertuturkata lembut menegur kesalahan suamiku dan membantunya memperbaikinya agar ia merubah sikapnya. It's all about compromising.

Namun apalah daya... pada akhirnya, terucap pula kata itu dari bibir suamiku, "Kita cerai saja!" hanya karena sebuah masalah kecil yang tanpa sengaja menjadi besar.

Saat itu seperti kudengar suara petir menggelegar di kepalaku. Arsy pun berguncang untuk ke sekian kalinya. Dan hatiku hancur berkeping-keping. Aku menjadi wanita paling pilu sedunia.

Tak ada yang kupikirkan selain... yah kita memang harus berpisah!

Kuingat kembali pertengkaran-pertengkaran kami sebelumnya... Kita memang sudah nggak cocok! Kupikirkan kesalahan-kesalahan apa yang telah aku lakukan namun lebih sering mengingat kesalahan-kesalahan suamiku.

Aku menangis sejadi-jadinya hingga dadaku sesak dan airmataku kering. Hari itu menjadi hari paling menyedihkan dalam hidupku.

Tak kulihat suamiku di sampingku keesokan paginya. Entah kemana ia. Tanpa sadar aku layaknya aktris berakting di sinetron-sinetron, memandangi foto-foto kami dulu dengan berlinang airmata. Ngiris hati ini. Andai saja ada lagu ‘Goodbye’ dari Air Supply yang mengiringiku, tentu semuanya menjadi scene yang sempurna.

Sekilas kenangan lama bermunculan di benakku. Aku teringat pertama kali aku bertemu suamiku, teringat apa yang aku rasakan saat ia melamarku. Aku tersenyum kecil hingga akhirnya tertawa saat mengingat malam pertamaku. Hmm...

Anak-anakku datang saat melihat ibu mereka ini tertawa, memelukku tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Mereka masih kecil-kecil. Kupandangi mereka satu per satu.... Mereka mirip ayahnya. Aku jadi teringat saat pertama kali kukatakan padanya bahwa ia akan menjadi ayah. Hhmmm...

Kulalui hari-hari penuh kekhawatiran bersamanya, menunggu kelahiran buah cinta kami. Dengan penuh kasih sayang, suamiku memegang tanganku, mencoba menenangkanku saat sang khalifah baru lahir, walaupun kutahu ia hampir saja pingsan. Keningku diciumnya saat semuanya berakhir walaupun wajahku penuh keringat saat itu. Saat kubuka mataku, di sampingku ia duduk menggendong bayi mungil itu. Bersamanya, kubeli tiket ke surga...

"Mi, Abi mana?" suara anakku mengejutkan lamunanku. Tak sanggup aku menjawabnya. Hampir saja aku menangis lagi.

Tiba-tiba kulihat sesosok bayangan dari balik dinding. Suamiku datang. Rupanya tadi malam ia tidur di teras. Ia melihatku bersama anak-anakku. Mereka berhamburan menyambut ayahnya, memeluk lututnya karena mereka belum cukup tinggi menggapai bahu ayahnya itu. Ia membawakan makanan untuk mereka.

Saat anak-anak sibuk dengan makanan itu, ia menghampiriku. Aku mencoba untuk biasa dan kuajak ia melihat foto-foto lama kami. Bernostalgia. Aku tertawa bersamanya. Mengingat yang telah lewat.

Sesekali ia memandangku lembut. Aku tahu ia sedang berfikir. Namun aku khawatir ia sedang meyakinkan hatinya untuk benar-benar menceraikan aku dan mengatur kata-kata agar aku dapat menerima keputusannya.

Saat ia diam dan memandangku dalam-dalam, kukatakan padanya bahwa aku merindukannya sejak tadi malam. Ia tersenyum dan mengatakan bahwa ia pun merasakan hal yang sama.

Hatiku lega. Kututup album foto itu dan kukatakan padanya bahwa selain dari semua kekuranganku tentu ada kelebihanku, selain dari semua yang tidak disukainya tentu ada yang disukainya, selain dari semua ketidakcocokan kita tentu ada bagian yang cocok. "Bila tidak, apa alasan Abang mau menikahi Dinda dulu? Dan bagaimana mungkin kita bisa bertahan selama ini?"

Ia mencium keningku. Kurasakan air mata mengalir hangat di pipiku. Tapi bukan air mataku...

"Allah memang hanya menciptakan Dinda buat Abang... Maafin Abang ya..." Kuusap air mata dari pipinya dan ia membaringkan kepalanya di pangkuanku...

"Maafin Dinda juga ya, Bang..."

Entah apa yang membuatnya berubah pikiran. Aku tak ingin menanyakannya. Hanya dengan berada di sisiku pagi itu, aku rasa aku tahu jawabannya...

Pernikahan itu bisa berumur panjang bila ada usaha untuk memanjangkannya dan bisa berumur pendek bila tidak ada yang mau berfikir panjang.

(Untuk pangeranku, aku ingin beranjak tua bersamamu... atas izin Allah.)

Ya Allah berilah hamba petunjuk untuk tetap di jalanMu, serta kemudahan untuk mendapat berkahmu... Amin.

Author: Unknown
Wiwin wiwin@mkt.fujitsu.co.id
by Admin
on Thu Jul 23, 2009 11:01 pm
 
Search in: Kisah Islami
Topik: Haruskah Kita Bercerai?
Balasan: 0
Dilihat: 2011

Cinta Karena Allah

Dilihat dari usianya beliau sudah tidak muda lagi, usia yg sudah senja bahkan sudah mendekati malam, pak Suyatno, 58 tahun, kesehariannya diisi dengan merawat istrinya yang sakit. Istrinya juga sudah tua. Mereka menikah sudah lebih 32 tahun. Mereka dikarunia 4 orang anak. Di sinilah awal cobaan menerpa, setelah istrinya melahirkan anak ke empat tiba-tiba kakinya lumpuh dan tidak bisa digerakkan, dan itu terjadi selama 2 tahun.

Menginjak tahun ketiga seluruh tubuhnya menjadi lemah bahkan terasa tidak bertulang lidahnya pun sudah tidak bisa digerakkan lagi. Setiap hari pak suyatno memandikan, membersihkan kotoran, menyuapi, dan mengangkat istrinya ke atas tempat tidur. Sebelum berangkat kerja dia letakkan istrinya didepan TV supaya istrinya tidak merasa kesepian.

Walau istrinya tidak dapat bicara tapi dia selalu melihat istrinya tersenyum. Untunglah tempat usaha pak suyatno tidak begitu jauh dari rumahnya, sehingga siang hari dia pulang untuk menyuapi istrinya makan siang. Sorenya dia pulang memandikan istrinya, mengganti pakaian, dan selepas maghrib dia temani istrinya nonton televisi sambil menceritakan apa-apa saja yang dia alami seharian.

Walaupun istrinya hanya bisa memandang (tidak bisa menanggapi), pak Suyatno sudah cukup senang bahkan dia selalu menggoda istrinya setiap berangkat tidur.

Rutinitas ini dilakukan pak suyatno lebih kurang 25 tahun. Dengan sabar dia merawat istrinya bahkan sambil membesarkan ke empat buah hati mereka, sekarang anak-anak mereka sudah dewasa tinggal si bungsu yg masih kuliah.

Pada suatu hari, keempat anak suyatno berkumpul di rumah orang tua mereka sambil menjenguk ibunya (karena setelah anak mereka menikah sudah tinggal dengan keluarga masing-masing).

Dan pak Suyatno memutuskan ibu mereka dia yang merawat, yang dia inginkan hanya satu: semua anaknya berhasil.

Dengan kalimat yg cukup hati-hati anak yg sulung berkata, "Pak kami ingin sekali merawat ibu. Semenjak kami kecil melihat bapak merawat ibu dan tidak ada sedikit pun keluhan keluar dari bibir bapak, bahkan bapak tidak ijinkan kami menjaga ibu."

Dengan air mata berlinang anak itu melanjutkan kata-katanya, "Sudah yg keempat kalinya kami mengijinkan bapak menikah lagi, kami rasa ibu pun akan mengijinkannya, kapan bapak menikmati masa tua bapak dengan berkorban seperti ini? Kami sudah tidak tega melihat bapak. Kami janji kami akan merawat ibu bergantian."

Pak Suyatno menjawab hal yang sama sekali tidak diduga anak-anak mereka, "Anak-anakku, jikalau hidup di dunia ini hanya untuk nafsu, mungkin bapak akan menikah. Tapi ketahuilah, dengan adanya ibu kalian disampingku, itu sudah lebih dari cukup, dia telah melahirkan kalian."

Sejenak kerongkongannya tercekat. “Kalian yang selalu kurindukan hadir di dunia ini dengan penuh cinta yang tidak satu pun dapat menghargai dengan apapun. Coba kalian tanya ibumu apakah dia menginginkan keadaanya seperti ini? Kalian menginginkan bapak bahagia, apakah bathin bapak bisa bahagia meninggalkan ibumu dengan keadaanya sekarang? Kalian menginginkan bapak yg masih diberi Allah kesehatan dirawat oleh orang lain, bagaimana dengan ibumu yg masih sakit?”

Sejenak meledaklah tangis anakanak pak Suyatno. Mereka pun melihat butiran-butiran kecil jatuh dipelupuk mata ibu Suyatno. Dengan pilu ditatapnya mata suami yg sangat dicintainya itu.

Sampailah akhirnya pak Suyatno diundang oleh salah satu stasiun TV swasta untuk menjadi narasumber acara Islami selepas Shubuh dan merekapun mengajukan pertanyaan kepada pak Suyatno.

“Kenapa bapak mampu bertahan selama 25 tahun merawat istri yg sudah tidak bisa apa-apa?”

Disaat itulah meledak tangis beliau. Dengan tamu yg hadir di studio kebanyakan kaum perempuan pun tidak sanggup menahan haru. Disitulah pak Suyatno bercerita.

“Jika manusia di dunia ini mengagungkan sebuah cinta tapi dia tidak mencintai karena Allah maka semuanya akan luntur. Saya memilih istri saya menjadi pendamping hidup saya. Sewaktu dia sehat dia pun dengan sabar merawat saya, mencintai saya dengan hati dan bathinnya, bukan dengan mata, dan dia memberi saya 4 orang anak yg lucu-lucu. Sekarang dia sakit berkorban untuk saya karena Allah. Dan itu merupakan ujian bagi saya. Sehat pun belum tentu saya mencari penggantinya, apalagi dia sakit. Setiap malam saya bersujud dan menangis dan saya curhat kepada Allah diatas sajadah. Dan saya yakin hanya kepada Allah saya percaya untuk mendengar rahasia saya.”
by Admin
on Thu Jul 23, 2009 11:00 pm
 
Search in: Kisah Islami
Topik: Cinta Karena Allah
Balasan: 0
Dilihat: 600

Ulama Salaf (pun) Menakwilkan Ayat Mutasyabihat

Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa dan Takwil Tafshili

Akhir-akhir ini, beberapa kalangan yang mengaku sebagai pengikut Ibnu Taimiyah mengklaim bahwa beliau tidak memperbolehkan takwil dalam menyikapi ayat maupun hadits mutasyabihat yang berkenaan tentang sifat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Berikut ini beberapa penjelasan tentang pernyataan Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa mengenai takwil kata “wajah Allah”:

1. “Wajah Allah” diartikan dengan “segala sesuatu yang (dilakukan) demi mendapatkan wajah-Nya.”

Ibnu Taimiyah berkata, “Jika yang dimaksud di sini adalah pembicaraan (kalam) mengenai tafsir ayat, maka kami mengatakan: menafsirkan ayat dengan apa-apa yang ma’tsur dan manqul dari perkataan salaf dan mufassirin, yaitu “Segala sesuatu akan binasa kecuali apa-apa yang (dilakukan) demi mendapatkan wajah-Nya,” adalah lebih baik daripada tafsir baru yang dibuat-buat itu (muhdats).” (Majmu’ Fatawa II/23)

2. “Wajah Allah” ditakwilkan dengan “agama Allah”

Ibnu Taimiyah berkata, “Tauhid ini dan tafsirnya yang telah disebutkan dalam hadits: Ketahuilah bahwa segala sesuatu selain Allah adalah bathil, adalah serupa dengan firman Allah, “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali wajah Allah.” Setelah ayat “Sebab itu janganlah sekali-kali kamu menjadi penolong bagi orang-orang kafir. Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari (menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu diturunkan kepadamu, dan serulah mereka kepada (jalan) Tuhanmu, dan janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah. Bagi-Nya lah segala penentuan, dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Qashash: 86-88)

Kemudian beliau melanjutkan, “Diriwayatkan dari Ja’far Ash-Shadiq (maksudnya yaitu): kecuali agama Allah.” (Majmu’ Fatawa II/258)

3. “Wajah Allah” diartikan dengan “Kebenaran” (Al-Haq)

Ibnu Taimiyah berkata, “Telah diriwayatkan dari Ali (bin Abi Thalib) sesuatu yang umum. Dalam tafsir Ats-Tsa’labi dari Shalih bin Muhammad, dari Sulaiman bin Amr, dari Salim Al-Afthas, dari Al-Hasan dan Said bin Jubair, dari Ali bin Abi Thalib, bahwa seorang laki-laki meminta kepadanya tapi beliau tidak memberinya, lalu laki-laki itu berkata, “Aku memintamu dengan wajah Allah.” Ali menjawab, “Bohong kau! Bukan dengan wajah Allah kau memintaku, karena wajah Allah adalah Al-Haq (kebenaran).” (Majmu’ Fatawa II/258)

4. “Wajah Allah” diartikan dengan “Allah”

Ibnu Taimiyah berkata, “Diriwayatkan dari Mujahid (bahwa maksud dari kata wajah Allah adalah): Allah.” (Majmu’ Fatawa II/258)

5. “Wajah Allah” diartikan dengan “Allah, Surga, Neraka dan Arsy”

Ibnu Taimiyah berkata, “Diriwayatkan dari Adh-Dhahak: segala sesuatu pasti binasa kecuali Allah, Surga, Neraka dan Arsy.” (Majmu’ Fatawa II/258)

6. “Wajah Allah” diartikan dengan “Kiblat Allah”

Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataan, ‘Kau menginginkan wajah ini’, maksudnya adalah arah ini atau sisi ini. Contohnya adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.” Maksudnya adalah kiblat Allah atau pandangan Allah. Demikianlah pendapat Jumhur Salaf, meskipun mereka menganggapnya termasuk dalam ayat sifat.” (Majmu’ Fatawa II/259)

7. “Wajah Allah” diartikan dengan “agama Allah”, “kehendak Allah”, “ibadah kepada Allah”

Ibnu Taimiyah berkata, “Firman Allah: Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali wajah-Nya, maksudnya adalah agama-Nya, kehendak-Nya dan ibadah (kepada)-Nya.” (Majmu’ Fatawa II/261)

8. “Wajah Alah” diartikan dengan “Dzat Allah”

Ibnu Taimiyah berkata, “Maka kepada dasar inilah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dikembalikan, “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali wajah-Nya.” Sebagaimana ayat, “Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” Sesungguhnya kekalnya wajah Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah kekalnya Dzat-Nya.” (Majmu’ Fatawa II/262)

Sekalipun beberapa kalangan masih bersikukuh berpendapat bahwa Ibnu Taimiyah tidak memperbolehkan takwil, namun contoh-contoh di atas setidaknya telah membuktikan bahwa ternyata beliau juga telah melakukan ta’wil tafshili dalam menyikapi ayat-ayat sifat.

Lalu apa sebenarnya yang tidak diperbolehkan oleh Ibnu Taimiyah? Apakah semua jenis takwil dilarang? Ataukah ada jenis takwil tertentu? Pertanyaan ini dijawab sendiri oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, Risalah Tadmuriyah di kaidah kelima. Berikut ini petikannya:


وكذلك مدلول أسمائه وصفاته الذي يختص بها التى هي حقيقة لا يعلمها الا هو : ولهذا كان الائمة كالإمام أحمد وغيره ينكرون على الجهمية وأمثالهم - من الذي يحرفون الكلم عن مواضعه - تأويل ما تشابه عليهم من القرآن على غير تأويله كما قال أحمد : في كتابه الذي صنفه في الرد على الزنادقة والجهمية فيما شكت فيه من متشابه القرآن وتأولته على غير تأويله
وانما ذمهم لكونهم تأولوه على غير تأويله وذكر في ذلك ما يشتبه عليهم معناه وان كان لا يشتبه على غيرهم وذمهم تأولوه على غير تأويله ولم ينفي مطلق لفظ التأويل كما تقدم : من أن لفظ التأويل يراد به التفسير المبين لمراد الله به فذلك لا يعاب بل يحمد ويراد بالتأويل الحقيقة التي استأثر الله بعلمها فذلك لا يعلمه الا هو وقد بسطنا في غير هذا الموضع
ومن لم يعرف هذا : اضطربت أقواله مثل طائفة يقولون إن التأويل باطل وانه يجب إجراء اللفظ ظاهره ويحتجون بقوله تعالى : { وما يعلم تأويله إلا الله } ويحتجون بهذه الآية على إبطال التأويل وهذا تناقض منهم لان هذه الآية تقتضي أن هناك تأويلا لا يعلمه الا الله وهم ينفون التأويل مطلقا


Jelas sekali dari penjelasan di atas bahwa takwil yang tidak diperbolehkan adalah sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang zindik dan Jahmiyah yang menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat tidak pada tempatnya. Jadi, tidak semua takwil dilarang. Buktinya, banyak di antara ulama Ahlus Sunnah yang menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat. Bahkan Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyah sendiri juga melakukannya, dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya dalam kitab-kitab turats.

Wallahu a’lam bis shawab.
by Admin
on Tue Jul 21, 2009 10:45 pm
 
Search in: Akidah Tauhid
Topik: Ulama Salaf (pun) Menakwilkan Ayat Mutasyabihat
Balasan: 1
Dilihat: 4380

Ulama Salaf (pun) Menakwilkan Ayat Mutasyabihat

Sebagian orang menyangka bahwa para Ulama Salaf tidak pernah menakwilkan ayat ataupun hadis sifat secara tafshili. Bahkan yang lebih ironis, mereka menuduh para ulama yang menakwilkannya sebagai ahli bid'ah. Benarkah demikian? Berikut ini penjelasan singkat mengenai hal itu:

1. Imam Baihaqi menakwilkan kata wajah Allah menjadi rahmat Allah

Imam Baihaqi dalam Al-Asma was Shifat juz 2 hal. 81 Maktabah Syamilah
باب ما جاء في إثبات الوجه صفة لا من حيث الصورة لورود خبر الصادق به
قال الله عز وجل : {ويبقى وجه ربك ذو الجلال والإكرام}.
وقال : {كل شيء هالك إلا وجهه}.
وقال : {وما آتيتم من زكاة تريدون وجه الله}.
وقال : {إنما نطعمكم لوجه الله}.
وقال : {والذين صبروا ابتغاء وجه ربهم}.
وقال : {إلا ابتغاء وجه ربه الأعلى}.
وقال : {يريدون وجهه}

...

عن عبد الله بن عمر ، رضي الله عنهما : أنه رأى رجلا يصلي يلتفت في صلاته فقال ابن عمر رضي الله عنهما إن الله عز وجل مقبل على عبده بوجهه ما أقبل إليه ، فإذا التفت انصرف عنه . قلت : ليس في صفات ذات الله عز وجل إقبال ولا إعراض ولا صرف ، وإنما ذلك في صفات فعله ، وكأن الرحمة التي للوجه تعلق بها تعلق الصفة بمقتضاها ، تأتيه من قبل وجه المصلي ، فعبر عن إقبال تلك الرحمة وصرفها بإقبال الوجه وصرفه لتعلق الوجه الذي هو صفة بها ، والله أعلم وَالَّذِي يُبَيِّنُ صِحَّةَ هَذَا التَّأْوِيلِ : مَا أَخْبَرَنَا أَبُو طَاهِرٍ الْفَقِيهُ
...
عَنْ أَبِي ذَرٍّ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَإِنَّ الرَّحْمَةَ تُوَاجِهُهُ فَلا يَمَسَّ الْحَصَا قُلْتُ : وَشَائِعٌ فِي كَلامِ النَّاسِ : الأَمِيرُ مُقْبِلٌ عَلَى فُلانٍ ، وَهُمْ يُرِيدُونَ بِهِ إِقْبَالَهُ عَلَيْهِ بِالإِحْسَانِ ، وَمُعْرِضٌ عَنْ فُلانٍ وَهُمْ يُرِيدُونَ بِهِ تَرَكَ إِحْسَانِهِ إِلَيْهِ ، وَصَرْفَ إِنْعَامِهِ عَنْهُ ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ
...


2. Mata Allah ditakwilkan menjadi Pandangan dan Penjagaan Allah

Imam Baihaqi dalam Al-Asma was Shifat juz 2 hal. 114 Maktabah Syamilah

باب ما جاء في إثبات العين
صفة لا من حيث الحدقة.
قال الله عز وجل : {ولتصنع على عيني}.
وقال تعالى : {فإنك بأعيننا}.
وقال : {واصنع الفلك بأعيننا}.
وقال تبارك وتعالى : {تجري بأعيننا} .
...
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا ، قَالَ : بِعَيْنِ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قُلْتُ : وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ حَمَلَ الْعَيْنَ الْمَذْكُورَةَ فِي الْكِتَابِ عَلَى الرُّؤْيَةِ ، وَقَالَ : قَوْلُهُ : وَلِتُصْنَعَ عَلَى عَيْنِي ، مَعْنَاهُ : بِمَرْأَى مِنِّي وَقَوْلُهُ : وَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا ، أَيْ : بِمَرْأَى مِنَّا وَكَذَلِكَ قَوْلُهُ : تَجْرِي بِأَعْيُنِنَا ، وَقَدْ يَكُونُ ذَلِكَ مِنْ صِفَاتِ الذَّاتِ وَتَكُونُ صِفَةً وَاحِدَةً وَالْجَمْعُ فِيهَا عَلَى مَعْنَى التَّعْظِيمِ ، كَقَوْلِهِ : مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللهِ ، وَمِنْهُمْ مِنْ حَمْلَهَا عَلَى الْحِفْظِ وَالْكِلاءَةِ ، وَزَعَمَ أَنَّهَا مِنْ صِفَاتِ الْفِعْلِ ، وَالْجَمْعُ فِيهَا سَائِغٌ وَاللَّهُ أَعْلَمُ ، وَمَنْ قَالَ بِأَحَدِ هَذَيْنِ زَعَمَ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْخَبَرِ نَفْيُ نَقْصِ الْعَوَرِ عَنِ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى ، وَأَنَّهُ لا يَجُوزُ عَلَى الْمَخْلُوقِينَ مِنَ الآفَاتِ وَالنَّقَائِصِ ، وَالَّذِي يَدُلُّ عَلَيْهِ ظَاهَرُ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ مِنْ إِثْبَاتِ الْعَيْنِ لَهُ صِفَةً لا مِنْ حَيْثُ الْحَدَقَةِ أَوْلَى وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ
...


3. Imam Bukhari menakwilkan kata tertawa dengan rahmat

Imam Baihaqi dalam Al-Asma was Shifat juz 3 hal. 13 Maktabah Syamilah

عن أبي هريرة ، رضي الله عنه : أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فبعث إلى نسائه ، فقلن : ما عندنا إلا الماء . فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « من يضيف هذا ؟ » فقال رجل من الأنصار : أنا . فانطلق به إلى امرأته ، فقال : أكرمي ضيف رسول الله صلى الله عليه وسلم . فقالت : ما عندنا إلا قوت الصبيان . فقال : هيئي طعامك ، وأصلحي سراجك (1) ، ونومي صبيانك إذا أرادوا العشاء . فهيأت طعامها ، وأصلحت سراجها ونومت صبيانها ، ثم قامت كأنها تصلح سراجها فأطفأته ، وجعلا يريانه كأنهما يأكلان ، فباتا طاويين (2) ، فلما أصبح غدا (3) على رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : « لقد ضحك الله الليلة ـ أو عجب ـ من فعالكما » . وأنزل الله عز وجل : ( ويؤثرون على أنفسهم ولو كان بهم خصاصة (4) ) . رواه البخاري في الصحيح عن مسدد ، وأخرجه أيضا من حديث أبي أسامة عن فضيل ، وأخرجه مسلم من أوجه أخر ، عن فضيل وقال بعضهم في الحديث « عجب » ، ولم يذكر الضحك . قال البخاري : « معنى الضحك الرحمة » . قال أبو سليمان : « قول أبي عبد الله قريب ، وتأويله على معنى الرضى لفعلهما أقرب وأشبه ، ومعلوم أن الضحك من ذوي التمييز يدل على الرضى والبشر ، والاستهلال منهم دليل قبول الوسيلة ، ومقدمة إنجاح الطلبة ، والكرام يوصفون عند المسألة بالبشر وحسن اللقاء ، فيكون المعنى في قوله » يضحك الله إلى رجلين « ؛ أي : يجزل العطاء لهما ؛ لأنه موجب الضحك ومقتضاه قال زهير : تراه إذا ما جئته متهللا كأنك تعطيه الذي أنت سائله وإذا ضحكوا وهبوا وأجزلوا ، قال كثير : غمر الرداء إذا تبسم ضاحكا غلقت لضحكته رقاب المال وقال الكميت أو غيره : فأعطى ثم أعطى ثم عدنا فأعطى ثم عدت له فعادا مرارا ما أعود إليه إلا تبسم ضاحكا وثنى الوسادا » قال أبو سليمان : « قوله » عجب الله « . إطلاق العجب لا يجوز على الله سبحانه ، ولا يليق بصفاته ، وإنما معناه الرضى ، وحقيقته أن ذلك الصنيع منهما حل من الرضا عند الله ، والقبول له ، ومضاعفة الثواب عليه ، محل العجب عندكم في الشيء التافه إذا رفع فوق قدره ، وأعطي به الأضعاف من قيمته » . قال أبو سليمان : « وقد يكون أيضا معنى ذلك أن يعجب الله ملائكته ويضحكهم ، وذلك أن الإيثار على النفس أمر نادر في العادات ، مستغرب في الطباع ، وهذا يخرج على سعة المجاز ، ولا يمتنع على مذهب الاستعارة في الكلام ، ونظائره في كلامهم كثيرة »
...


4. Ibnu Taimiyah menakwilkan kata wajah dengan arah

Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa 2/428 meriwayatkan dari Ja'far Shadiq takwil kata wajah dalam firman Allah surat Al-Qashash ayat 88 dengan kata jihah (arah). Kemudian beliau mengatakan, "Demikianlah pendapat jumhur ulama Salaf." (lihat kitab As-Salafiyah karangan Dr. M Said Ramadhan Buthi hal. 135)

5. Ulama Salaf menakwilkan kata wajah dengan kiblat

Imam Baihaqi dalam Al-Asma was Shifat juz 2 hal. 106 Maktabah Syamilah

- وأخبرنا أبو عبد الله الحافظ ، وأبو بكر القاضي قالا : حَدَّثَنَا أبو العباس محمد بن يعقوب ، حدثنا الحسن بن علي بن عفان ، حَدَّثَنَا أبو أسامة ، عن النضر ، عن مجاهد ، في قوله عز وجل : {فأينما تولوا فثم وجه الله} قال : قبلة الله فأينما كنت في شرق أو غرب فلا توجهن إلا إليها
...


Masih banyak lagi contoh-contoh serupa lainnya. Bagi yang ingin menelaah lebih jauh, bisa mendapatkannya dalam kitab Al-Asma was Shifat karangan Imam Baihaqi, Ma'alimus Sunan karangan Imam Khattabi, Tafsir Baghawi dan lain-lain.

Jadi, dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa takwil tafshili bukanlah hal yang baru (bid'ah) yang diada-adakan oleh para Ulama Khalaf, melainkan telah lama dilakukan oleh para Ulama Salaf. Tidak benar jika dikatakan bahwa Ulama Khalaf telah lancang melakukan kekeliruan dalam menakwilkan ayat ataupun hadis sifat yang bersifat mutasyabihat. Memang, dalam menakwilkan ayat ataupun hadis sifat tidak sembarang orang boleh melakukannya. Diperlukan seperangkat ilmu yang memadai untuk dapat melakukannya. Hanya para ulama yang memiliki kompetensi dan kapabilitas dalam hal itu yang berhak melakukannya.

Barangkali pertanyaan yang masih tersisa adalah, “Mengapa sebagian (atau kebanyakan) ulama Salaf lebih memilih menahan diri untuk tidak menafsirkan ayat dan hadis mutasyabihat secara lebih jauh (terperinci)? Tentu ada sebab-sebabnya. Lalu apa sebab itu?”. Inilah yang akan kita bahas di sini.

Telah menjadi rahasia umum bahwa para ulama Salaf (semoga Allah merodhoi mereka semua) memiliki ketakwaan dan kewaraan yang luar biasa dibandingkan dengan orang-orang yang sezaman dengan mereka. Hal ini tidaklah aneh karena Allah sendiri yang menyatakannya dalam firman-Nya, “Di antara para hamba-Nya, hanya para ulamalah yang takut kepada Allah”. Oleh karena itu, dalam menafsirkan (teks) ayat ataupun hadis yang bersifat mutasyabihat mereka sangat berhati-hati. Di samping mereka tidak ingin mengambil resiko yang terlalu besar di hadapan Allah, pada zaman mereka juga belum muncul terlalu banyak permasalahan yang mengharuskan mereka melakukan hal itu. Bukan berarti mereka tidak mampu melakukannya, justru sebaliknya kemampuan mereka jika dibandingkan dengan kemampuan orang-orang setelah mereka jauh lebih tinggi. Akan tetapi rasa tahayyub (segan) yang telah menahan mereka dari melakukan hal-hal yang belum pernah dilakukan oleh para pendahulu mereka.

Pernyataan ini bukan tanpa bukti, melainkan para ulama sendirilah yang menyatakannya. Berikut ini pernyataan Imam Khattabi yang dinukil oleh Imam Baihaqi mengenai hadis Anas bin Malik dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, beliau berkata, “Neraka Jahannam masih saja bertanya-tanya: ‘Masih adakah tambahan?’ sampai Allah Subhanahu Wata'ala meletakkan kaki (qadam)-Nya di dalamnya. Neraka Jahannam berkata: ‘Cukup! Cukup!’… dst” (HR. Bukhari-Muslim).

Imam Khattabi berkomentar mengenai hadis di atas, “Sepertinya, orang yang menyebutkan kata qadam dan kaki atau meninggalkan idhofah, mereka melakukannya semata-mata karena rasa tahayyub (segan) dan mengambil jalan selamat dari kesalahan takwil”.

Abu Ubaid, salah seorang Imam Ahli Ilmu mengatakan, “Kami meriwayatkan hadis-hadis tersebut tanpa memalingkan maknanya”.

Imam Khattabi berkomentar, “Kami lebih layak untuk tidak lancang mendahului mereka yang lebih banyak ilmunya dan lebih dahulu usia dan zamannya. Akan tetapi, di zaman yang saat ini kami alami, orang-orang telah terpecah menjadi dua kelompok: pertama kelompok yang mengingkari sama sekali hadis-hadis semacam ini serta mendustakannya. Hal itu berarti mereka telah mendustakan para ulama yang telah meriwayatkan hadis-hadis tersebut. Padahal mereka (para ulama) adalah para imam agama dan pembawa estafet sunnah ini serta menjadi perantara antara kita dengan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Kedua, kelompok yang pasrah kepada riwayat-riwayat itu kemudian memahaminya secara zhahir sehingga hampir saja terjerumus dalam tasybih. Adapun kami lebih memilih jalan tengah dengan tidak mengambil salah satu di antara kedua pendapat itu. Maka kami berkewajiban untuk menjelaskan takwil daripada hadis-hadis tersebut, jika memang riwayat dan sanadnya shahih. Yaitu takwil yang diambil berdasarkan dasar-dasar (Ushul) Dien dan pendapat para ulama dengan tanpa menolak riwayat-riwayat itu secara total, jika memang perawinya boleh diterima dan sanadnya bisa dipertanggungjawabkan”.

Lebih lanjut Imam Khattabi menyatakan, “Mengenai disebutkannya kata qadam, terdapat kemungkinan bahwa yang dimaksud qadam di sini adalah orang-orang yang didahulukan oleh Allah untuk masuk ke dalam neraka, sehingga dengan itu menjadi penuhlah jumlah penghuni neraka. Karena setiap sesuatu yang didahulukan disebut qadam, seperti sesuatu yang dihancurkan disebut hadam, sesuatu yang yang digenggam disebut genggaman…dst” (lihat kitab Ma’alimus Sunan 5/95 cetakan Homs; As-Salafiyah hal. 149).

Itulah Imam Khattabi, dan Anda pasti tahu siapa Imam Khattabi! Salah seorang ulama Khalaf yang paling dekat masanya dan paling mengerti dengan ulama Salaf. Itulah pernyataan yang sangat adil dan jujur mengenai masalah ini. Beliau telah menggabungkan antara memuliakan generasi Salaf serta mengakui keutamaan-keutamaan mereka dengan memahami realita dan konteks yang terjadi dan telah berubah di zamannya. Perhatikan kalimat “Yaitu takwil yang diambil berdasarkan dasar-dasar (Ushul) Dien dan pendapat para ulama”, inilah yang seharusnya dicermati oleh para peneliti mengenai masalah ini. Wallahu A’lam.

Wallahu A'lamu Bis Showab.
by Admin
on Tue Jul 21, 2009 10:41 pm
 
Search in: Akidah Tauhid
Topik: Ulama Salaf (pun) Menakwilkan Ayat Mutasyabihat
Balasan: 1
Dilihat: 4380

Sejarah Singkat Berdirinya Ma'had

Admin - Pencarian Gedung1

Berdirinya Ma'had Tahfizhul Qur'an Isy Karima bermula dari munculnya gagasan para pengurus Yayasan Sosial Isy Karima, diprakarsai oleh para 'Alim Ulama' Solo dan dr. Tunjung S. Soeharso sebagai ketua yayasan, untuk mendirikan Taman Pendidikan Al-Qur'an (TPA) yang dipondokkan, yang kemudian berkembang menjadi pesantren.

Adapun tingkat pendidikan yang dicita-citakan adalah pendidikan setingkat SMU dengan harapan lulusannya bisa melanjutkan ke perguruan tinggi terutama perguruan tinggi di Timur Tengah. Akan tetapi karena keterbatasan waktu dan gerak para pengurus yayasan, maka angan-angan tersebut belum dapat terwujud sampai pada suatu waktu, Allah memberikan kesempatan kepada pengurus yayasan untuk berbuat sesuatu yang diberi nama "Proyek Penyelamatan Umat" mengingat di dekat Masjid Ma'had (Masjid Bilal bin Rabbah) ada sebuah rumah kosong yang luas tanahnya ± 1000 m2 dalam status dikuasai oleh Bank dan akan dijual dengan cara dilelang,

Dan Alhamdulillah dengan izin dan pertolongan Allah SWT, akhirnya rumah tersebut bisa menjadi milik Yayasan Sosial Isy Karima yang sekarang menjadi gedung TPA dan Madrasah Diniyah Bilal bin Rabah.

ImageSesudah rumah tersebut resmi dimiliki oleh Yayasan Sosial Isy Karima, maka Yayasan segera memikirkan pemanfaatannya, dengan berbagai pertimbangan dan saran baik dari team penasihat Yayasan yang terdiri dari Ust. Ahmad Husnan, Lc, Ust. Muzayyin Abdul Wahhab, Lc, Ust. Suwardi Effendi, Lc rahimahulah, dan Ust. Muhammad Ilyas, Lc, serta Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia (DDII) Perwakilan Jawa Tengah akhirnya diputuskan untuk menyelenggarakan Pendidikan berupa Ma'had Tahfizhul Qur'an dengan pertimbangan bahwa hal tersebut besar manfaatnya untuk umat, sesuai tuntutan dan tidak memerlukan persiapan yang terlalu berat.

Untuk mewujudkan semua itu maka dibentuklah team pekerja yang ditugasi Yayasan untuk menindaklanjuti program tersebut yang diketuai oleh Ust. KH. Wahyuddin dengan dibantu oleh para pengurus DDII perwakilan Jawa Tengah dan sebagian santri diniyah putra binaan Yayasan Isy Karima angkatan I.

Sesudah melalui perjuangan dan usaha yang melelahkan, berdirilah Ma'had Tahfizhul Qur'an Isy Karima angkatan I dengan masa pendidikan dua tahun dengan beasiswa penuh, yang santri-santrinya adalah lulusan SLTA atau yang sederajat dengan program Ma'had 'Aly Tahfizhul Qur'an Isy Karima, di bawah bimbingan dari KH. Wahyuddin, Ust. Eman Badru Tamam, Lc dan Ust. Syihabuddin AM.

ImageAlhamdulillah pada bulan Syawwal 1419 H atau bertepatan dengan bulan Januari 1999 M, proses pendidikan sudah dapat dimulai untuk angkatan pertama dengan jumlah santri 16 orang. Kemudian sesuai dengan rencana semula, yaitu ingin mendirikan pendidikan setingkat SMU, Alhamdulillah di bulan Juli 2000 M dengan berbagai perjuangan dan usaha akhirnya dapat diwujudkan dalam bentuk Madrasah Aliyah Tahfizhul Qur'an Program Khusus (MATIQ PK) yang dipimpin oleh Ust. Eman Badru Tamam, Lc. Adapun lama pendidikannya adalah empat tahun.

Demikian Riwayat singkat berdirinya Ma'had Tahfizhul Qur'an Isy Karima. Mudah-mudahan Allah SWT selalu memberikan jalan kemudahan dan melindungi umatnya yang senantiasa berusaha menegakkan dienul Islam. Amiin.


Sumber: http://isykarima.org/index.php?option=com_content&task=view&id=18&Itemid=35
by Admin
on Mon Jul 13, 2009 9:44 pm
 
Search in: Informasi Ma'had
Topik: Sejarah Singkat Berdirinya Ma'had
Balasan: 0
Dilihat: 4756

Ngobrol sama ustadz Syihab via YM!

Bagi seluruh santri dan alumni yang ingin berkomunikasi dengan ustadz Syihab via Yahoo Messenger bisa menghubungi beliau di: syihabisykarima@yahoo.com.
by Admin
on Mon Jul 13, 2009 9:33 pm
 
Search in: Ta'aruf Sesama Isy Karimer
Topik: Ngobrol sama ustadz Syihab via YM!
Balasan: 0
Dilihat: 1149

Pendaftaran Tahun Ajaran 2009-2010

Bagi jama'ah yang memerlukan informasi tentang pendaftaran santri baru di Ma'had Tahfidzul Qur'an Isy Karima, silahkan hubungi :

  • Ustadz Irfan
    No HP : 081329710003
  • Ustadz Salman
    No HP : 081804566817
by Admin
on Mon Jul 13, 2009 9:30 pm
 
Search in: Informasi Ma'had
Topik: Pendaftaran Tahun Ajaran 2009-2010
Balasan: 0
Dilihat: 1086

Kesungguhan dan Harga Surga

Kesungguhan dan Harga Surga


Ketika membaca sejarah, kita akan mendapati catatan perjalanan orang-orang besar yang luar biasa. Merekalah orang-orang yang telah mengukir kisah hidup mereka dengan kesungguhan menempa diri, perjuangan mempertahankan prinsip dan kegigihan merealisir cita-cita. Merekalah pribadi-pribadi yang tak mengenal lelah. Tak ada istilah menyerah dalam kamus mereka. Tak peduli seberapa banyak keringat yang menetes, air mata yang mengalir atau bahkan darah yang tertumpah.

Hati ini pasti tersentak ketika membaca kehidupan mereka. Bagaimana tidak, sementara detik terus berdetak, hari terus berlari, waktu berlalu menorehkan catatan-catatan keberhasilan mereka melewati sederetan aral melintang yang menghadang. Setiap derap langkah dan desah nafas selalu terisi dengan kesabaran, keteguhan dan jiddiyah (kesungguhan), bukan bersantai-santai, berleha-leha dan bertopang dagu sambil berangan-angan.

Tidak. Sekali-kali tidak. Sejarah tak pernah lelah mencatat semua kisah kehidupan manusia. Semuanya terekam dengan jelas dan detil. Siapa membaca akan mendapatkan pelajaran. Siapa acuh tak acuh akan terjatuh pada lubang yang sama.

Orang yang cerdas tentu takkan mau terperosok pada lubang yang sama. Orang yang sadar akan mengambil pelajaran dari setiap peristiwa yang terjadi. Bagaimanakah nasib akhir para pejuang tangguh yang dengan gigih tanpa menyerah mempertahankan prinsip-prinsipnya? Bagaimanakah pula nasib para pecundang yang dengan mudah bertekuk lutut hanya dengan secuil rintangan?

Ya, semua itu sudah jelas jawabannya. Mereka yang bersungguh-sungguh akan memanen hasil kesungguhannya di kemudian hari. Demikian pula mereka yang bermalas-malasan akan menanggung sendiri akibat kemalasannya.

Marilah kita buka kembali catatan biografi orang-orang besar yang pernah hadir dalam pentas sejarah. Perhatikanlah hal-hal luar biasa yang pernah mereka hadapi. Bagaimana seorang Imam Ahmad bin Hanbal harus rela kulitnya terkelupas karena cambukan para sipir di penjara tirani demi mempertahankan akidahnya untuk tidak mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk. Sebelumnya, Yasir dan Sumayyah, sepasang suami istri yang telah melahirkan Ammar, harus rela darahnya tertumpah di tanah, bahkan Sumayyah harus rela kemaluannya terhujam tombak, demi mendapatkan janji Nabi SAW:

"Bersabarlah wahai keluarga Yasir, karena tempat tinggal kalian adalah di surga"

Demikian pula Bilal yang harus tegar bertahan di atas siksaan tidak manusiawi yang ditimpakan atas dirinya oleh gembong kaum musyrikin Makkah saat itu, Umayyah bin Khalaf. Atau Mush'ab bin Umair, seorang pemuda rupawan yang dilahirkan di kalangan elit kota Makkah, namun rela menutup matanya untuk selamanya dengan satu kisah memilukan. Ia hanya dikafani dengan satu burdah. Jika ditutup kepalanya maka tampaklah kakinya, jika ditutup kakinya, tampaklah kepalanya. Semua itu ia lakukan demi memperjuangkan agama Allah.

Bahkan Rasulullah SAW sendiri, sang pembawa risalah amanat dari Rabb semesta alam, sang pionir perjuangan, harus merelakan tubuh beliau berlumur darah dalam berbagai peperangan yang beliau pimpin, atau gigi beliau yang patah karena lemparan batu penduduk Thaif ketika beliau berhijrah ke sana. Subhanallah.

Masih banyak lagi peristiwa-peristiwa heroik yang memenuhi lembaran sejarah orang-orang besar. Kini, berkat kegigihan mempertahankan prinsip dan kesungguhan dalam menghadapi setiap cobaan dan mara bahaya yang mengancam, nama-nama mereka senantiasa harum dikenang dalam sejarah. Nama mereka telah tercatat dengan tinta emas dan akan terus dikenang hingga akhir masa.

Kita tentu menyadari bahwa setiap orang akan dibalas sesuai dengan kadar kesungguhannya. Seorang pemalas tentu tak layak protes ketika mendapatkan nilai yang buruk dalam ujian atau tidak naik kelas, misalnya. Demikian pula seseorang yang rajin pasti merasakan betapa nikmatnya melihat hasil ujiannya meskipun nilai yang didapat belum memenuhi harapan. Karena semua itu berkat kerja keras dan lelehan keringat serta semangat yang gigih yang telah ia jalani. Kini ia dapat tersenyum menikmati hasil keringatnya.

Demikian pula perjalanan hidup ini. Kita tak berhak protes kepada Sang Pencipta jika di akhirat nanti mendapatkan jatah surga kelas rendahan, karena itulah hasil ujian kita selama di dunia. Seseorang yang hanya berkorban keringat akan dibalas dengan harga keringat. Seseorang yang berkorban air mata juga akan dibalas dengan harga yang sesuai. Lalu tidakkah kita tergoda untuk mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, keringat, air mata, darah bahkan nyawa kita sekaligus?

Ternyata harga surga sangat mahal, kawan. Kita harus memiliki dana yang cukup untuk membelinya. Surga tidak diberikan secara gratis. Harus ada transaksi jual beli. Harus ada harga yang sesuai. Harus ada pengorbanan.

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. (QS. At Taubah: 111)

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (QS. Al Baqarah: 214)

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar. (QS. Ali Imran: 142)

Marilah kita mulai dari sekarang untuk memperbaiki diri. Mari kita kembali berkaca. Sejauh manakah kesungguhan kita selama ini. Seberapa besarkah pengorbanan yang telah kita sumbangkan untuk tegaknya agama ini di muka bumi. Seberapa banyakkah dana yang kita miliki untuk membeli surga nanti di akhirat. Tentu, setiap kita mengharapkan jannatul firdausil a'la, surga Firdaus yang tertinggi. Surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan hanya untuk orang-orang yang bertakwa.

Semoga Allah memberikan kita kekuatan untuk menjadi para pembela agama-Nya. Semoga Allah mengaruniakan kita kesabaran untuk menapaki hidup ini dengan ridho-Nya. Semoga Allah mengumpulkan kita di akhirat nanti bersama hamba-hamba-Nya yang Dia cintai. Bersama para Nabi, Shiddiqin, Syuhada dan Shalihin.

Allahumma Amin, Ya Rabbal Alamin.
by Admin
on Wed Jul 01, 2009 10:38 pm
 
Search in: Artikel Islami
Topik: Kesungguhan dan Harga Surga
Balasan: 0
Dilihat: 1231

APA ITU KHALWAT?

Dalam rangka menjaga fitrah wanita, Islam menganjurkan agar wanita hendaknya lebih banyak tinggal di rumah (QS. al-Ahzab [33]: 33). Anjuran ini sebagai langkah preventif Islam untuk mencegah terjadinya banyak fitnah yang dapat timbul akibat berbaurnya antara dua jenis kelamin, pria dan wanita, di luar rumah. Apalagi karena pria memang harus lebih banyak aktif di luar rumah demi menunaikan tugas pokoknya sebagai pencari nafkah bagi keluarga. Demikian tuntunan dasar kehidupan menurut Islam.

Namun, dalam kondisi tertentu, wanita kerap terpaksa harus keluar rumah. Baik itu karena kondisi hajah (kebutuhan) atau dharurah (terpaksa). Hajah seperti keluar rumah untuk silaturahim, belajar, atau karena keaktivan dalam kegiatan dakwah. Sedangkan dharurah adalah seperti keluarnya wanita untuk keperluan berobat ke dokter atau wanita yang terpaksa mencari nafkah karena desakan ekonomi yang menghimpit.

Islam sendiri, pada dasarnya, memberi kelonggaran kepada wanita Muslimah untuk keluar rumah jika kondisinya memang menuntut untuk itu. Baik itu karena kebutuhan atau karena terpaksa. Pembolehan ini berlaku sepanjang adab-adab keluar rumah tetap dijaga dan dipelihara. Adab-adab yang dimaksud antara lain mencakup menghindari pemakaian parfum, tidak memakai pakaian dengan warna yang mencolok sehingga mengundang perhatian, kain pakaian hendaknya yang tebal dan longgar sehingga tidak menampakkan lekuk tubuh, menutup aurat, tidak menyerupai pakaian pria, dll. Dengan demikian, kebutuhan si wanita, di satu sisi, tetap dapat terpenuhi; dan di sisi lain, dampak negatif yang mungkin timbul dari keluarnya si wanita dari rumah, sedemikian rupa, juga dapat dieliminir.

Di antara adab yang penting untuk diperhatikan dalam hubungan antara pria dan wanita, khususnya bagi yang tidak memiliki hubungan mahram antara keduanya, adalah menghindari khalwat.

Apakah khalwat itu? Khalwat (khalwah) dalam bahasa Arab berarti berdua di suatu tempat dimana tidak ada orang lain. Maksud dari tidak adanya orang lain dalam hal ini mencakup: (1) tidak ada orang lain sama sekali; atau (2) ada orang lain dan keberadaan keduanya kelihatan tetapi pembicaraan antara keduanya tidak dapat didengar oleh orang itu. Inilah makna khalwat secara bahasa. Menurut al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah (Ensiklopedi Fiqh Kuwait), makna bahasa sebagaimana dipaparkan di atas semakna dengan terminologi khalwat menurut ahli-ahli fiqh Islam. Dengan kata lain tidak ada perbedaan untuk kata khalwat antara makna bahasa dan makna istilah syar’i.

Lebih lanjut Syekh Abdullah al-Bassam menyebut dua bentuk khalwat. Pertama, mughallazhah (berat), ialah berduanya seorang pria dan wanita di suatu tempat yang mana keduanya tidak dilihat oleh orang lain. Kedua, mukhaffafah (ringan), yaitu berduanya seorang pria dan wanita di tengah-tengah manusia sehingga keduanya kelihatan namun percakapan antara keduanya tidak dapat didengar oleh orang lain.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang khalwat. Sabda beliau: “Janganlah sekali-kali seorang pria berduaan dengan seorang wanita, karena yang ketiganya adalah syetan.” (HR. Ahmad dengan sanad yang shahih) Tidak bisa dipungkiri bahwa berduanya seorang pria dengan wanita yang bukan mahramnya sangat potensial membuka peluang terjadinya fitnah. Kendati boleh jadi keduanya tidak memiliki niat jahat. Oleh sebab itu, hadits di atas dengan tegas melarang perbuatan tersebut.

Dengan merujuk kepada makna khalwat di atas maka banyak fenomena khalwat yang dapat dikemukakan. Terutama khalwat yang umumnya kurang diperhatikan oleh masyarakat kita. Contohnya adalah berduanya seorang pria dengan wanita di atas kendaraan. Walaupun pria tersebut sedang mengemudikan mobil, misalnya. Keberadaan keduanya di atas mobil memang kelihatan oleh orang lain. Tetapi pembicaraan antara keduanya tidak didengar oleh siapapun.

Termasuk dalam kategori perbuatan khlawat adalah “khalwat profesi”. Yaitu khalwat yang terjadi karena “tuntutan” profesi. Konsultan, dokter, perawat, adalah sebagian contoh. Profesi-profesi ini rentan untuk bisa berdua dengan klien atau pasiennya.

Tidak terkecuali pula, dalam konteks khalwat ini, yang kerap terjadi dalam sebagian masyarakat adalah khalwat dalam pergaulan dengan kerabat dekat yang bukan mahram. Dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jauhilah kalian masuk ke (ruang) wanita.” Seorang lelaki Anshar bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan kerabat suami?” Beliau menjawab: “Kerabat suami itu (laksana) maut.” (HR. Bukhari) Dalam hadits ini, Rasulullah menyebut kerabat suami sebagai maut karena dapat menjerumuskan kepada hal-hal yang tidak dikehendaki. Apalagi jika mengingat kedudukan keluarga suami yang demikian dekat sehingga jarang menimbulkan kecurigaan dan luput dari perhatian.

Sebagai solusi untuk keluar dari problem khalwat ini adalah dengan bersama dengan pria atau wanita lain. Demikian menurut Imam Abu Hanifah. Lebih baik lagi jika pria atau wanita tersebut adalah mahram. “Janganlah seorang lelaki berdua dengan seorang wanita,” Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “kecuali dengan mahram.” (HR. Bukhari) Hadits ini bersama hadits-hadits yang lain memberi makna bahwa kondisi khalwat dapat dihilangkan dengan kehadiran salah satu lawan jenis lain. Dengan demikian, hilanglah kondisi khalwat yang dapat menimbulkan fitnah. Tentu saja bila komunikasi atau berkumpulnya antara pria dan wanita tersebut dalam perkara-perkara yang mubah dan dengan tetap menjaga batasan-batasan syariat yang ada.

Jika dikaitkan dengan tujuan syariat yang salah satunya adalah (menjaga nasab/keturunan), tampak jelas relevansi dan hikmah tuntunan syariat untuk menghindari khalwat. Keinginan Islam untuk menciptakan jalinan masyarakat yang harmonis, bersih dari penyimpangan, dan berjalan di atas fitrah yang murni adalah sebagian hikmah di balik larangan khalwat ini. Wallahu ta’ala a’lam bi al-shawab.
by Admin
on Wed Jul 01, 2009 10:34 pm
 
Search in: Artikel Islami
Topik: APA ITU KHALWAT?
Balasan: 0
Dilihat: 10118

Konsep Hadis Sahih dalam Ilmu Hadis

Konsep Hadis Sahih dalam Ilmu Hadis

Dalam memutuskan dapat diterima atau tidaknya sebuah hadis, para ahli hadis tidak cukup hanya dengan meneliti kapasitas perawi saja. Hal itu disebabkan oleh proses transmisi hadis yang berlangsung dari satu perawi ke perawi lainnya. Oleh karena itu, diperlukan beberapa syarat lagi --di samping syarat-syarat perawi-- untuk menilai sebuah hadis, apakah dapat diterima atau tidak.

Para ahli hadis telah memberikan definisi yang bermacam-macam terhadap hadis sahih. Di sini, kita akan memilih definisi yang paling tepat dan steril dari kritik.

Hadis sahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang Adl dan Dhabith dari perawi yang Adl dan Dhabith pula, demikian seterusnya hingga akhir sanad, serta steril dari Syudzudz dan Illat.
Dari definisi di atas, kita akan mengambil lima poin penting untuk kita perjelas:

Yang pertama, bersambung. Maksudnya sanadnya bersambung. Hal itu terjadi jika seorang perawi bertemu secara langsung dengan para perawi yang berada di atasnya, demikian pula perawi yang di atasnya tersebut dengan perawi yang di atasnya lagi, demikian seterusnya hingga sampai kepada nara sumber hadis tersebut.

Dari poin ini maka secara otomatis hadis-hadis yang tidak memiliki sanad yang bersambung tidak dapat dikatakan sebagai hadis sahih. Misalnya hadis mursal, munqathi' dan lain sebagainya. Karena jika sanad sebuah hadis tidak bersambung, maka berarti terdapat mata rantai yang hilang dari transmisi hadis tersebut. Dari situ tidak tertutup kemungkinan bahwa perawi yang hilang tersebut adalah seorang perawi yang lemah sehingga menghalang-halangi hadis tersebut dari derajat sahih.

Kedua, Adl. Adl dapat diartikan sebagai kredibilitas seorang perawi sebagai penyampai hadis. Seseorang dikatakan Adl jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  • Muslim
  • Berakal sehat
  • Baligh
  • Tidak pernah melakukan dosa besar
  • Tidak terus-menerus melakukan dosa kecil
  • Menjaga harga diri


Oleh karena itu, seseorang yang diduga telah melakukan perbuatan orang fasik --seperti berzina, minum khamr dan lain sebagainya, maka hadisnya tidak dapat diterima.

Ketiga, Dhabith. Dhabith dapat diartikan akurasi seorang perawi dalam proses dokumentasi hadis. Seseorang dikatakan Dhabith jika ia mampu menjaga hadis --baik dengan hafalan maupun dengan tulisan, sesuai dengan apa yang ia dapatkan dari sumbernya, serta mampu menyampaikannya sewaktu-waktu dibutuhkan. Syarat ini memaksa seorang perawi untuk tidak lalai dan ceroboh dalam proses take and give (tahammul wal ada') dalam proses transmisi hadis.

Perpaduan antara sifat Adl dan Dhabith menjadikan seorang perawi meraih predikat Thiqah. Artinya perawi yang sangat terpercaya.

Keempat, Steril dari Syudzudz. Syudzudz terjadi jika seorang perawi Thiqah menyelisihi perawi yang tingkat ke-Thiqah-annya lebih tinggi darinya. Hal itu dapat disebabkan oleh kekuatan hafalan yang dimiliki oleh perawi lain --yang lebih Thiqah tersebut-- melebihi kekuatan hafalannya, atau bisa juga disebabkan oleh lebih banyaknya jumlah perawi lain --yang juga Thiqah-- yang menyelisihinya. Maka, riwayat yang dibawa oleh perawi Thiqah tersebut disebut sebagai riwayat Syadz, yang artinya ganjil atau aneh, karena riwayat lain yang validitasnya lebih kuat justru menunjukkan sebaliknya.

Perlu diketahui bahwa Syudzdudz tidak menyebabkan seorang perawi yang telah melakukan tindakan Syudzudz tersebut dianggap tidak Thiqah. Ia tetap dianggap sebagai perawi Thiqah, akan tetapi dalam riwayat tersebut ia diduga telah terjatuh pada sebuah kesalahan sehingga riwayatnya disebut sebagai riwayat Syadz. Karena predikat Thiqah merupakan predikat umum yang dilekatkan pada seorang perawi berdasarkan jumlah hadis yang ia miliki secara keseluruhan. Jika sebagian besar dari hadis-hadis yang ia miliki sama dengan hadis-hadis para perawi Thiqah lainnya, maka ia termasuk di antara jajaran para perawi Thiqah. Hanya saja, sebagai manusia --yang tidak luput dari kesalahan, tidak tertutup kemungkina ia terjatuh pada sebuah kesalahan pada sebagian kecil hadis yang ia milikinya sehingga hadis-hadis tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hadis sahih.

Kelima, Steril dari Illat. Illat adalah sebuah cacat tersembunyi yang dapat menghalangi sebuah hadis mencapai derajat sahih. Beberapa hadis, jika dilihat secara zhahir tampak sebagai hadis sahih karena beberapa syaratnya terpenuhi. Namun jika diteliti lebih jauh ternyata terdapat cacat-cacat tersembunyi yang jarang diketahui oleh orang awam, yang mana cacat tersebut dapat menurunkan derajat hadis tersebut dari derajat sahih.

Oleh karena itu, hadis yang memiliki cacat Illat tidak dapat dikatakan sebagai hadis sahih. Hadis yang demikian keadaannya disebut sebagai hadis mu'allal.

Demikianlah kelima syarat yang harus terpenuhi untuk menentukan sahih tidaknya sebuah hadis.

Wallahu A'lam bis Showab.
by Admin
on Tue Jun 30, 2009 11:24 pm
 
Search in: Hadits dan Mustholah
Topik: Konsep Hadis Sahih dalam Ilmu Hadis
Balasan: 0
Dilihat: 1087

[CERPEN] CALON MENANTU

Oleh: Irwan Kelana

"Ass, Kak. Aku baru nyampe rumah."

Tak sabar Yayah mengirimkan SMS itu begitu tiba kembali di Tanah Air. Empat tahun lamanya ia menuntut ilmu di Al-Azhar University, Cairo. Tiga tahun di antaranya dilaluinya dengan menyimpan kenangan dan rindu kepada Qodari. Ya, lelaki asli Madura itu telah merebut hatinya sejak saat pertama menyambut kedatangannya di pagi buta, di Bandara Internasional Cairo. Bersama sejumlah senior lainnya, Qodari menjemput rombongan mahasiswa baru Al-Azhar University asal Indonesia yang merupakan peserta program beasiswa kerja sama Indonesia-Mesir.

Yayah segera saja menjadi bintang mahasiswa Al-Azhar angkatan tahun tersebut. Posturnya tinggi, dengan hidung bangir, bibir merah delima asli tanpa pulasan lipstik, dan kulit seputih kapas. Busana apa pun yang dikenakan gadis berdarah Sunda itu hanya membuatnya makin kelihatan cantik dan mempesona. Banyak kakak kelasnya yang berupaya menampakkan perhatiannya. Terutama mahasiswa tahun keempat yang sudah hampir lulus S-1 maupun mereka yang sedang menempuh jenjang pendidikan Pasca Sarjana.

Hanya Qodari yang sama sekali tak pernah memberikan sinyal khusus kepadanya. Meskipun ia tak pernah menolak jika Yayah memerlukan bantuannya. Terkadang Yayah ingin bertanya kepada kakak kelasnya, apakah Qodari sudah mempunyai calon istri. Namun ia merasa malu sendiri. Baru datang ke Mesir kok udah bicara cinta? Setahun kemudian, Qodari lulus S-1. Ia akan pulang ke Indonesia sebentar, lalu melanjutkan pendidikan S-2 di Pakistan.

Yayah dan sejumlah teman mengantarnya ke bandara. Ada yang terasa hilang di jiwanya saat sosok lelaki yang selama ini kerap mengisi relung batinnya itu menghilang dari pandangan sesaat setelah melewati imigrasi. Negeri Mesir yang indah kini terasa begitu hampa. Ketika mobil yang ditumpanginya perlahan meninggalkan bandara, matanya menatap jauh ke landasan, ke deretan burung-burung besi yang dengan angkuhnya bertengger di sana. Kalau saja ia punya sayap, ingin rasanya ia terbang dan hinggap di pesawat yang akan mengantar Qodari pulang ke Indonesia.

Betapa kejamnya Kak Qodari. Ia pergi tanpa pernah memberikan tanda apa pun kepadanya. Apakah ia begitu keras hatinya, sehingga tak mampu menangkap sinyal perasaan yang dikirimkan oleh seorang gadis -- meski itu hanya berupa wajah memerah dan sikap canggung manakala tanpa sengaja berpapasan di perpustakaan kampus, Masjid Al-Azhar, dan Wisma Nusantara yang merupakan pusat aktivitas mahasiswa Indonesia di Mesir. Padahal, lulusan terbaik Al-Azhar University dengan predikat Mumtaz itu dikenal selalu ramah dan simpatik kepada siapa pun.

Diam-diam ia pun menyesali dirinya. Kenapa ia tak berterus terang saja, atau setidaknya mengirimkan sinyal yang lebih jelas, misalnya berupa SMS yang berisi sindiran tentang cinta. Atau, mengapa ia tidak menitipkan salam lewat salah seorang kakak kelasnya yang sama-sama aktif di PPMI bersama Qodari?

"Yayah, kamu sakit?" tanya Aisyah, melihat wajah Yayah yang agak pucat. Buru-buru Yayah menggeleng. "Ah, tidak. Hanya kurang tidur saja," kilahnya.

Sesaat sebelum pesawat Singapore Airlines yang akan membawanya dari Cairo ke Jakarta bersiap-siap untuk lepas landas, Qodari mengirimkan SMS: "Bila kamu mau menjadi istriku, aku akan menunggumu." Membaca SMS tersebut Yayah rasanya ingin berteriak dan melompat dari mobil. Namun ia berusaha menahan perasaannya sewajar mungkin.

"Welcome home. Jadi, kapan aku boleh datang melamarmu? Wss." Balasan dari Qodari selalu pendek dan to the point. Namun itu sudah lebih dari cukup. "Aku akan bicara dulu dengan Abah. Nanti aku kabari Kakak." Butuh waktu sebulan, baru KH Syamsuri, ulama terpandang di Bekasi, mengizinkan Qodari datang melamar putri kesayangannya. "Saya tunggu Jumat pagi, pukul enam," kata KH Syamsuri kepada Qodari, lewat telepon.

Dua tahun di Pakistan, Qodari kembali ke Tanah Air dengan menggondol gelar Master di bidang ekonomi syariah. Ia mengajar ekonomi syariah di salah satu universitas ternama di Jakarta. Ia rajin menulis di media massa, khususnya mengenai ekonomi Islam. Ia pun menjadi da'i dan sudah mulai sering tampil di acara keislaman di televisi. Tepat pukul enam kurang 10 menit, ia tiba di rumah Sang Kiai. Ulama kharismatis itu sedang duduk di beranda sambil memegang tasbih dan melantunkan zikir.

"Assalaamu' alaikum."

KH Syamsuri menoleh. "Wa'alaikumsalaam."

Qodari segera mencium tangan Sang Kiai. "Saya Qodari."

"Silakan duduk." Suaranya terdengar berwibawa. Sorot matanya tajam.

"Terima kasih, Pak Kiai."

Yayah menyaksikan dari dalam rumah. Hatinya berdegup kencang melihat wajah yang selalu dirindukannya itu.

"Sayang, mana tehnya?"

"Siap, Abah."

Yayah segera mengantarkan minuman teh manis. Wajahnya terasa bersemu merah ketika Qodari menatapnya. Tanpa sengaja ia menunduk.

"Duduk di sini, sayang," kata KH Syamsuri.

Dengan kikuk, Yayah duduk di samping ayahnya, berhadapan dengan Qodari. "Silakan jelaskan, apa tujuan kamu datang ke rumah saya," suara KH Syamsuri terdengar sangat tegas.

"Terima kasih, Pak Kiai. Saya berniat melamar Yayah untuk menjadi istri saya."

KH Syamsuri tidak langsung menjawab. Ia menatap pemuda di hadapannya, seperti ingin mencari kepastian di matanya. Tanpa sadar, Qodari mengangguk. Yayah merasa serba salah. Ia tidak berani mendonggakkan wajahnya.

"Tadi malam kamu shalat Tahajud?" tanya KH Syamsuri tiba-tiba.

"Ya, Pak Kiai."

"Tadi pagi shalat Shubuh di mana?"

"Saya shalat Shubuh berjamaah di Masjid An-Nur, Perumahan Permata Timur, Kalimalang."

"Ya, sudah. Tiga bulan lagi kamu balik ke sini."

Setelah itu, KH Syamsuri masuk ke dalam rumah. Qodari pun beranjak pulang. Yayah ingin protes kepada abahnya. Namun ia tidak berani. Abahnya sangat sayang kepadanya, apalagi semenjak ibunya meninggal enam tahun lalu. Namun ia sangat tegas memegang prinsip.

Tiga bulan kemudian, Qodari datang lagi. Namun hal yang sama berulang. Ia diminta datang lagi tiga bulan kemudian. Lagi-lagi, pertanyaannya sama, yakni di mana dia shalat Tahajud dan shalat Shubuh.

Hari ini, untuk yang kelima kalinya Qodari datang ke rumah KH Syamsuri. Berarti kurang lebih setahun lamanya ia melamar Yayah. Pertanyaan KH Syamsuri tetap tidak berubah.

"Saya Tahajud dilanjutkan Shubuh berjamaah di Islamic Centre Bekasi," sahut Qodari mantap.

"Selama setahun ini, berapa kali kamu tidak shalat Tahajud, dan berapa kali kamu tidak shalat fardhu berjamaah."

"Alhamdulillah, tidak satu kali pun, Pak Kiai."

Tiba-tiba KH Syamsuri bangkit dari duduknya, dan memeluk Qodari. "Aku izinkan engkau menikahi putriku. Bimbinglah ia ke jalan yang diredhai Allah, dunia dan akhirat," bisiknya perlahan namun tegas di telinga Qodari.

Yayah menarik napas lega. Wajahnya tiba-tiba tersenyum sumringah.

KH Syamsuri melirik putrinya. "Sayangku, calon suamimu berkhidmat di bidang dakwah dan pendidikan. Bagaimana ia bisa menjadi seorang dai yang istiqamah, kalau ia tidak menegakkan shalat Tahajud dan shalat fardhu berjamaah? Ketahuilah, Tahajud merupakan pakaian para Nabi, Rasul dan orang-orang saleh. Sedangkan shalat fardhu jamaah merupakan ukuran kesungguhan iman seseorang. Kamu pasti pernah membaca hadits, cukuplah untuk mengetahui seseorang itu golongan munafik atau bukan dari shalat Shubuhnya, berjamaah atau tidak."

Selesai.

Sumber: Republika
by Admin
on Tue Jun 30, 2009 11:12 pm
 
Search in: Karya Seni
Topik: [CERPEN] CALON MENANTU
Balasan: 0
Dilihat: 2880

IKUTI DAUROH NAHWU DAN SHOROF - JULI 2009

Ilmu nahwu dan shorof adalah ilmu yang tidak asing lagi bagi kaum muslimin, khususnya bagi para ahlul ilmi dan para penuntut ilmu.

Itulah ilmu pokok untuk membuka ilmu bahasa arab sebagai dasar untuk membuka ilmu-ilmu Islam dari kitab Allah Ta’alaa dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Merekapun telah lama berusaha mempelajari ilmu tersebut sejak dulu sampai saat ini, akan tetapi mereka mengalami banyak kesulitan, sedikit sekali yang dapat berhasil meraihnya dengan kokoh, meskipun literatur dan rujukan ilmiyah telah banyak ditulis oleh para ulama ilmu tersebut, yang jelas ilmu adalah anugrah dan keutamaan dari Allah, Allah melarang kita berputus asa dari rahmat-Nya, dan Allah telah menetapkan sunnah kauniyah dalam kehidupan ini bahwasanya ; “Sesungguhnya orang-orang yang telah berjihad di Jalan Kami, sungguh benar-benar Kami akan menunjukkan pada mereka jalan-jalan Kami.”

Buku Mukhtashor Ilmis Shorfi wan Nahwi ini dikumpulkan oleh penulis dalam rangka mencari jalan bagaimana dapat meraih penguasaan ilmu ini secara mapan, dan alhamdulillah karna pertolongan Allah semata, sejak santri yang pertama di Kendari Sultra dan yang sekarang di Lembaga Pengajaran Islam dan Bahasa Arab Madrasah Imam Ahmad bin Hambal Semarang telah 9 angkatan santri lintas usia, buku ini telah membukakan jalan bagi mereka dalam meraih penguasaan ilmu tersebut.

***

Dauroh Pengajaran Ilmu Nahwu dan Shorof Metode Al-Jawaamie Kitab Mukhtashoru Ilmi As-Shorfi wa An-Nahwi

Madrasah Imam Ahmad bin Hambal Semarang bekerjasama dengan masjid Ar-Ridho BKJ Semarang akan mengadakan dauroh pengajaran ilmu nahwu dan shorof insyaallah, dengan syarat sebagai berikut.


Peserta:

  • Dibuka untuk umum
  • Tidak berlaku bagi santri Madrasah Imam Ahmad bin Hambal Semarang
  • terbatas untuk 30 peserta putra
  • Usia minimal setingkat SLTA
  • Memiliki dasar-dasar ilmu nahwu-shorof
  • Siap mengikuti pengajaran secara penuh & diasramakan


Waktu & Tempat Pelaksanaan:
Daurah akan berlangsung sekitar 1 bulan

Tanggal pelaksanaan:
12 Juli s/d 9 Agustus 2009

Tempat:
Masjid Ar-Ridho Perum BKJ Meteseh Tembalang Semarang

Cek in, tes peserta & Iftitah tgl 11-07-09, jam 16.00 – selesai

Pendaftaran Peserta:
Pendaftaran dibuka mulai tgl 15 Juni s/d 11 juli 2009
Pendaftaran dapat langsung ke Panitia Pendaftaran Madrasah Imam Ahmad bin Hambal Semarang Jl. Sapta Prasetya Utara No. 16 Pedurungan Kidul 50192, (024) 70571201 Jam 18.00-22.00 hari Senin, Rabu & Jum’at

Pendaftaran via telpon ; 081802479652, 081905962824, 08122888950, 024-70571201, 024-70647822

Biaya Pendaftaran, 3 buku Materi Daurah & Akomodasi 1 bln ; Rp 350.000

Lain-lain dapat ditanyakan pada panitia pendaftaran

Download Daftar Materi dan Jadwal: silakan klik link ini

Penyelenggara:
Madrasah Imam Ahmad bin Hambal Semarang bekerjasama dengan masjid Ar-Ridho BKJ SMG

Sumber: http://muslim.or.id/info-dauroh-dan-kajian/dauroh-pengajaran-ilmu-nahwu-dan-shorof-metode-al-jawaamie-kitab-mukhtashoru-ilmi-as-shorfi-wa-an-nahwi.html
by Admin
on Mon Jun 29, 2009 9:44 am
 
Search in: Info Kajian
Topik: IKUTI DAUROH NAHWU DAN SHOROF - JULI 2009
Balasan: 0
Dilihat: 1188

IKUTI DAUROH BAHASA ARAB - JULI 2009

Bahasa Arab Dasar Liburan Semester Pendek (BADAR SP) 2009
(Yogyakarta, 12 Juli - 1 Agustus 2009)

“Pelajarilah Bahasa Arab, karena itu adalah bagian penting dari agama kalian.”
(Umar Bin Khattab)

Waktu pendaftaran:
2 Juni - 7 Juli 2009

Tempat pendaftaran:

Untuk Putra:
Toko Ihya, Karang Bendo CT III/2 Jl. Selokan Mataram (Utara Fak. Pertanian UGM)
Wisma MTI, Pogung Kidul, Sleman (Utara Fak Teknik UGM)

Untuk Putri:
Toko Griya Muslimah, Karang Bendo CT III Jl. Selokan Mataram (Utara Fak. Pertanian UGM)
Wisma Hilyah, Jl Mangga 2 Blok B12 Pogung Rejo RT 16B RW 51 Sinduadi, Mlati, Sleman

Via SMS*
Ketik: Daftar[spasi]Nama[spasi]kelas yang diinginkan

Kirim ke Informasi:
Putra: 08561732977
Putri: 085743558784

Biaya Pendidikan:
Pemula, Menengah dan Lanjutan (semua kelas): Rp. 60 ribu per 36 kali pertemuan (tanpa kitab)**

Tes penempatan akan dilaksanakan pada:
Hari & Tanggal: Kamis, 9 Juli 2009
Pukul: 16.00 WIB
Tempat: Masjid Al Ashri, Pogung Rejo, Sinduadi, Mlati, Sleman
Sifat: Wajib bagi yang ingin masuk kelas Menengah dan Lanjutan

Pengumuman hasil seleksi:
Ditempel di tempat-tempat pendaftaran atau lihat di www.muslim.or.id, www.muslimah.or.id pada tanggal 10 Juli 2009.

Briefing akan dilaksanakan pada:
Hari & Tanggal: Sabtu, 11 Juli 2009
Pukul: 08.00 WIB
Tempat: Masjid Al Ashri
Sifat: Wajib

Jadwal pelaksanaan:
Waktu: 12 Juli – 1 Agustus 2009 (2 sesi per hari)
Tempat:
Ikhwan: Masjid-masjid sekitar UGM
Akhwat: Wisma Hilyah, Zahiroh, dan Roudhotul Ilmi

Materi pelajaran:

Ikhwan:
Kelas Pemula, kitab panduan Muyassar
Kelas Menengah, kitab panduan Mukhtarot
Kelas Lanjutan, kitab panduan Mulakhos

Akhwat:
Kelas Pemula, kitab panduan Muyassar

Pengajar:
Staf Pengajar Ma’had ‘Umar Bin Khattab

Informasi:
Putra: 08561732977
Putri: 085743558784

Penyelenggara:
Ma’had ‘Umar Bin Khattab
Yayasan Pendidikan Islam Al Atsari (YPIA)

Sekretariat:
Wisma Misfallah Tholabul ‘Ilmi (MTI)

Info lebih lengkap hubungi Informasi atau di www.muslim.or.id, www.muslimah.or.id

*bagi yang mendaftar via sms, wajib daftar ulang pada tanggal 8-9 Juli di tempat pendaftaran
**Kitab dapat dipesan kepada panitia (informasi)

PETA KAJIAN:
Silakan klik link PETA KAJIAN ini untuk melihat denah lokasi kajian


Sumber: http://muslim.or.id/info-dauroh-dan-kajian/bahasa-arab-dasar-liburan-semester-pendek-badar-sp-2009.html
by Admin
on Mon Jun 29, 2009 9:24 am
 
Search in: Info Kajian
Topik: IKUTI DAUROH BAHASA ARAB - JULI 2009
Balasan: 0
Dilihat: 718

Madrasah Diniyyah Lin-Nisaa’ Isy Karima

Kegiatan ini dimulai pada tanggal 10 Maret 2009 di rumah dr. Tundjung (dekat Jln. Slamet Riyadi, Solo). Kegiatan Madrasah Diniyyah Lin-Nisa’ Isy Karima ini adalah kegiatan rutin yang dilaksanakan setiap hari Selasa dari pukul 08.15 s.d 11.15 WIB selama 1 tahun. Karena jumlah pesertanya cukup banyak (sekitar 100 orang), maka peserta dibagi menjadi 2 kelas, yaitu kelas Aisyah dan kelas Hafshah. Kelas Aisyah berada di Lantai 2, kebanyakan diikuti oleh sebagian ibu-ibu dan para remaja. Sedangkan kelas Hafshah berada di Lantai 1, ruangannya lebih luas dan dikelilingi tanaman-tanaman yang hijau.

Latar belakang diadakannya kegiatan ini adalah untuk menindaklanjuti kajian ibu-ibu yang sudah rutin berjalan sejak tahun 1992 di rumah dr. Tundjung tiap hari Selasa pagi. Kajian yang berlokasi di tempat yang nyaman dan sejuk ini sekarang diikuti oleh lebih dari 150 ummahat (ibu-ibu) dan beberapa akhwat (remaja putri). Yang membuat istimewa kajian ibu-ibu ini adalah materinya yang menarik dan berbobot karena disampaikan oleh para ustadz/ustadzah yang ternama di kota Solo. Sebagian dari mereka adalah hafidz Quran (penghafal Al-Quran) dan merupakan pengurus atau pengajar di pondok pesantren. Beberapa dari mereka antara lain:

Ustadz Syihabuddin (Al-Quran, Muhasabah, Fiqih Ibadah, dll),
Ustadz Badru Tamam (Asma’ wa Shifat – Nama-nama dan Sifat-sifat Allah),
Ustadz Sholeh (Tafsir Al-Quran – Fiqih Nisa’),
Ustadz Wahyudin (Aqidah),
Ustadz Muzayyin (Tarikh – Shirah Nabawiyah),
Ustadz Aris Munandar (Ghazwul Fikri), dll.

Kuliah perdana Madrasah Diniyyah diampu oleh Ustadz Aris Munandar Al-Fatah dengan judul makalah “Nasehatilah Perempuan”. Makalah tersebut berisi tentang pentingnya memberikan porsi lebih kepada para wanita dan penjelasan mengenai tugas yang harus dipikul wanita, yaitu mempersiapkan GENERASI UNGGULAN yang memiliki kelayakan untuk mencapai janji Allah. Pertemuan selanjutnya adalah pengajaran materi-materi diniyyah yang meliputi: Durusul Lughoh, Tafsir Al-Quran, Aqidah, Fiqhun Nisa, Hadits, dan Manhajul Dakwah. Jadwal kegiatan ini adalah sebagai berikut:

Jadwal Materi Dinniyah Lin-nisa’ Isy Karima
Kelas : ‘Aisyah (Lantai 2)

Selasa I
Materi 1 (08.15-09.00): Durusul Lughoh
Materi 2 (09.00-09.45): Tafsir Al-Quran
Materi 3 (09.45-10.30): Aqidah
Materi 4 (10.30-11.15): Fiqhun Nisa’

Selasa II
Materi 1 (08.15-09.00): Durusul Lughoh
Materi 2 (09.00-09.45): Tarjamah / Hadits
Materi 3 (09.45-10.30): Aqidah
Materi 4 (10.30-11.15): Manhajul Dakwah

Selasa III:
Materi 1 (08.15-09.00): Durusul Lughoh
Materi 2 (09.00-09.45): Tafsir Al-Quran
Materi 3 (09.45-10.30): Aqidah
Materi 4 (10.30-11.15): Fiqhun Nisa’

Selasa IV:
Materi 1 (08.15-09.00): Durusul Lughoh
Materi 2 (09.00-09.45): Tarjamah / Hadits
Materi 3 (09.45-10.30): Aqidah
Materi 4 (10.30-11.15): Manhajul Dakwah

Pengampu Materi Diniyyah:

Durusul Lughoh : Ustadzah Juli Nur Hasanah
Tafsir Al-Quran : Ustadzah Eva Nur Hasanah
Aqidah : Ustadzah Nanik Wardiyanti
Fiqhun Nisa’ : Ustadzah Purwanti/ Ustadzah Sulis
Tarjamah / Hadits : Ustadzah Khotimah
Manhajul Dakwah : Ustadz Aris Munandar Al-Fatah


Untuk melihat Profil Lembaga Pusat Kajian Muslimah Isy Karima, silahkan buka: http://nikenpuspitasari.wordpress.com/
by Admin
on Sun Jun 28, 2009 6:39 pm
 
Search in: Info Kajian
Topik: Madrasah Diniyyah Lin-Nisaa’ Isy Karima
Balasan: 0
Dilihat: 1100

Salam dari Moderator Forum

Untuk keterangan lengkap mengenai tatacara berdiskusi dalam forum ini, klik Frequently Asked Question (FAQ) pada menu di atas.
by Admin
on Sun Jun 28, 2009 5:57 pm
 
Search in: Ta'aruf Sesama Isy Karimer
Topik: Salam dari Moderator Forum
Balasan: 1
Dilihat: 1264

Salah Kaprah Dalam Menyikapi Al-Quran

Oleh : KH Syihabuddin A Muiz
(Direktur Pondok Pesantren Tahfizhul Qur’an Isy Karima, Karangpandan, Karanganyar)

Salah satu peristiwa pada Ramadan adalah diturunkannya Alquran. Di dalam surat Al-Baqarah:185 disebutkan bahwa Alquran diturunkan Allah SWT pada bulan Ramadan. Dalam ayat lain Alquran diturunkan pada malam kemuliaan (Lailatulkadar) dan pada malam yang diberkati (Lailatul Mubarokah).

Bagi umat Islam, Alquran tentu merupakan sesuatu yang sangat sakral (suci) sekaligus agung. Kesucian dan keagungan Alquran didasarkan pada kenyataan bahwa ia merupakan firman Allah (kalamulah), Tuhan Pencipta manusia dan seluruh alam ini. Kesuciannya sekaligus juga merupakan menjadi sumber hukum dan pedoman setiap umat manusia yang ingin selamat, bahagia dunia dan akhirat. Pendek kata Alquran adalah sebagai penyelesaian berbagai problem manusia.

Namun alih-alih menjadi sumber hukum dan pedoman hidup, Alquran dalam implementasinya hanya sekadar disimpan di rak-rak buku tanpa pernah dibaca, dikaji isinya, apalagi diamalkan dalam kehidupan. Masyarakat lebih tertarik dan bersemangat untuk membaca koran atau rajin menonton TV, misalnya, ketimbang membaca Alquran. Kalaupun dibaca, biasanya sekadar pada Ramadan. Karena jarang dibaca, otomatis Alquran jarang dikaji isinya. Karena jarang dikaji, kitab tersebut jarang diamalkan isinya. Lalu bagaimana problem kehidupan akan diselesaikan jika Alquran tidak dimengerti, dipahami dan diamalkan?

Di kalangan intelektual muslim, kita juga menyaksikan bagaimana Alquran diperlakukan secara ”semena-mena”, sesekali dikritisi, bahkan tak jarang digugat meskipun tentu tidak secara terang-terangan alias dibungkus dengan berbagai istilah dan jargon, seperti reaktualisasi ataupun reinterpretasi Alquran. Munculnya sikap kritis terhadap Alquran tidak lain karena didasarkan pada praanggapan bahwa Alquran meskipun dipandang suci, hakikatnya adalah kumpulan teks, yang sama dengan teks-teks lain.

Nashr Hamid Abu Zayd, misalnya, dalam Mafhûm an-Nash; Dirâsât fî ‘Ulûm al-Qur’ân, secara tegas menyatakan bahwa peradaban Arab Islam adalah peradaban teks. Artinya, perlu adanya penakwilan dan penafsiran ulang terhadap teks-teks keagamaan untuk menyemangati nilai-nilai kemanusiaan. Sebab, yang berkembang selama ini hanya penafsiran yang mengunggulkan aspek transendensi dan sakralitas, tetapi mengesampingkan aspek sosio-historis yang menyapa realitas kemanusiaan dengan santun dan elegan.

Hal yang sama dilakukan oleh Taufik Adnan Kamal, yang pernah menulis artikel dengan judul Alquran Edisi Kritis, meskipun yang dipersoalkan bukan ”isinya”, tetapi lebih pada aspek penulisan Alquran, di samping juga aspek historisitasnya. Ia, misalnya, menganggap sejarah pengumpulan Alquran lebih banyak mitosnya ketimbang sebagai sebuah realitas, demikian juga berkaitan dengan stabilitas teks Alquran (Taufik Adnan Kamal, Islamlib.com, 25/11/2001).

Sebagai contoh, menurut mereka, ketika Islam menyatakan, bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita, itu hanya cocok untuk komunitas Arab yang dulu kaum perempuannya memang sangat bergantung pada laki-laki. Jilbab juga demikian, hanya pas diterapkan atas masyarakat yang tingkat penghargaannya kepada perempuan masih sangat rendah sebagaimana halnya masyarakat Arab dulu. Demikian seterusnya.

Di kalangan mereka, juga ada yang menyatakan, bahwa Alquran merupakan kitab suci yang terbuka bagi siapa pun yang ingin menginterpretasikannya. Bahwa Alquran sekarang tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang bisa diterima begitu saja, karena itu memang belum final, tidak pernah final, dan mungkin tidak perlu final. Oleh karena itu, masyarakat harus dibebaskan untuk menafsirkannya. Prinsip inilah yang sebenarnya mendasari anggapan, bahwa Alquran harus direkonstruksi secara terus-menerus berdasarkan rasionalitas manusia agar bisa terus mengikuti perubahan zaman.

Sementara itu, dalam tataran implementasi dan praktis, banyak sikap miring terhadap kelayakan Alquran sebagai sumber legislasi jika secara legal formal diterapkan, baik yang sangat meragukan atau bahkan menolak sama sekali maupun yang setengah hati menerimanya. Pihak yang sangat meragukan atau bahkan menolak sama sekali, misalnya, berpendapat bahwa pemberlakuan hukum-hukum Alquran (syariat Islam) akan mengancam kebebasan atau HAM golongan tertentu, menghambat pluralitas, tidak relevan dengan konteks kekinian dan banyak klaim lainnya yang intinya adalah ekspresi ketidaksetujuan.
Belajar dari sahabat

Perbuatan sahabat mencerminkan keimanan utuh terhadap Alquran. Mereka betul-betul mengimplementasikan keimanan ini dalam kehidupan. Sejarah banyak mencatat hal ini.

Pertama, membaca, menghafal, dan mengamalkan Alquran. Para sahabat saling berlomba dalam membaca dan mempelajari Alquran. Segala kemampuannya mereka curahkan untuk menguasai dan menghafalnya.

Kedua, sikap ketaatan sami‘nâ wa athâ‘nâ (kami mendengar dan kami taat). Para sahabat betul-betul menjadikan Alquran sebagai pegangan hidup. Begitu perintah atau larangan turun segera mereka melaksanakannya tanpa perlu lagi banyak berpikir.
Dari sini muncullah sosok-sosok yang mulia dan agung dengan karakter yang mengalami perubahan sebelum dan sesudah bersentuhan dengan Alquran. Sosok inilah yang dicatat oleh sejarah sebagai pencipta peradaban agung yang mampu menciptakan keamanan dunia, menyatukan umat manusia, menciptakan kemajuan politik- ekonomi, kemajuan sains dan teknologi selama 1.400 tahun lamanya.

Peradaban ini pula yang telah mengubah kehidupan sosio-historis Arab jahiliah menjadi peradaban dunia yang mampu diterima umat manusia yang meliputi dua per tiga 3 dunia, yang telah mengalahkan Persia dan kelak menaklukkan Romawi. Hal inilah yang dideskripsikan oleh Will Durant dalam The Story of Civilizations.

Kita bisa belajar dari realitas sejarah, bahwa peradaban Alquran (baca:Islam) mampu mengubah derajat manusia dari yang hina menjadi mulia, dari yang biadab menjadi beradab, dari yang papa menjadi berada dan seterusnya. Jika demikian halnya, masihkah umat Islam ragu terhadap Alquran? Mari kita merenungi firman Allah,”Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Alquran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Alquran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar,” (QS Al–Baqarah: 23).


sumber: solopos
by Admin
on Sun Jun 28, 2009 5:51 pm
 
Search in: Artikel Islami
Topik: Salah Kaprah Dalam Menyikapi Al-Quran
Balasan: 0
Dilihat: 779

Pesan Untuk Para Calon Istri

Pesan Untuk Para Calon Istri

Imam Baihaqi dalam Syu'abul Iman meriwayatkan sebuah pesan sederhana namun sarat makna. Pesan tersebut disampaikan oleh seorang ibu kepada puterinya yang baru saja menikah dan akan dilepaskan untuk menemani suaminya. Sungguh merupakan pesan yang patut direnungkan oleh para akhwat dan ummahat yang ingin menjaga kestabilan biduk rumah tangga dalam mengarungi samudera kehidupan yang luas tak terkira.

Pesan ini juga dinukil oleh Imam Ghazali dalam kitabnya, Al Ihya. Berikut ini teks asli pesan tersebut dalam Kitab Syu'abul Iman:


أخبرنا أبو سعيد عبد الرحمن بن محمد بن شبانة الهمداني بها ، نا أبو حاتم أحمد بن عبد الله البستي نا إسحاق بن إبراهيم البستي ، نا قتيبة ، نا عبد الله بن بكر السهمي ، نا أبو بشر ، أن أسماء بن خارجة الفزاري ، لما أراد أن يهدي ابنته إلى زوجها ، قال لها : « يا بنية ، كوني لزوجك أمة (1) يكن لك عبدا ، ولا تدني منه فيملك ، ولا تباعدي عنه فتثقلي عليه ، وكوني كما قلت لأمك : خذي العفو مني تستديمي مودتي ولا تنطقي في سورتي (2) حين أغضب فإني رأيت الحب في الصدر والأذى إذا اجتمعا لم يلبث الحب يذهب » (شعب الإيمان للبيهقي - 8479)
__________
(1) الأمة : المملوكة والمراد : مطيعة
(2) السورة : الحدة والغضب والاضطراب


Sedangkan dalam kitab Al Ihya, redaksinya agak sedikit berbeda:


روي أن أسماء بنت خارجة الفزاري قالت لابنتها عند التزوج (إنك خرجت من العش الذي فيه درجت فصرت إلى فراش لم تعرفيه وقرين لم تألفيه فكوني له أرضا يكن لك سماء وكوني له مهادا يكن لك عمادا وكوني له أمة يكن لك عبدا لا تلحفي به فيقلاك ولا تباعدي عنه فينساك إن دنا منك فاقربي منه وإن نأى فأبعدي عنه واحفظي أنفه وسمعه وعينه فلا يشمن منك إلا طيبا ولا يسمع إلا حسنا ولا ينظر إلا جميلا) (إحياء علوم الدين:1-408 )


Terjemahan bebasnya sebagai berikut:

Asma' binti Kharijah Al Fazary berpesan kepada puterinya ketika menikah (sebelum melepaskan kepergiannya menuju suaminya):

"Wahai puteriku sayang, tak lama lagi kau akan keluar meninggalkan ayunan tempat kau ditimang dulu, dan berpindah ke atas ranjang yang belum pernah kau lihat sebelumnya. Kau akan hidup bersama seorang kawan yang belum pernah kau kenal sebelumnya. Oleh karena itu, jadilah bumi tempat ia berpijak, maka ia akan menjadi langit yang menaungimu. Jadikanlah dirimu tempat sandaran baginya, maka ia akan menjadi tiang yang meneguhkanmu. Jadilah pelayan baginya, ia akan menjadi abdi bagimu. Jangan kau merepotkannya sehingga ia merasa kesal. Dan jangan terlalu jauh darinya sehingga ia lupa akan dirimu. Jika ia mendekatimu, maka dekatilah. Jika ia berpaling, maka menjauhlah. Peliharalah pandangannya, pendengarannya dan penciumannya. Jangan sampai ia memandang sesuatu yang buruk darimu. Dan jangan sampai ia mendengar kata-kata kasar darimu. Dan jangan sampai ia mencium bau yang tak sedap darimu. Jadikanlah setiap apa yang ia lihat adalah wajahmu yang cantik berseri-seri. Jadikanlah setiap apa yang ia dengar adalah ucapanmu yang santun dan lembut. Jadikanlah setiap apa yang ia cium adalah aroma wangi tubuh dan pakaianmu."

"Ayahmu dulu berpesan kepada ibumu: Maafkanlah segala kesalahan dan kehilafanku, niscaya cinta kita akan terus bersemi. Ketika aku marah, janganlah kau memancing lagi amarahku. Karena benci dan cinta takkan pernah bersatu. Saat benci datang, cinta pun kan berlalu."

Demikian isi pesan tersebut. Semoga bermanfaat dan dapat dijadikan bahan renungan untuk para calon istri yang akan memasuki sebuah kehidupan baru. Kehidupan yang mengakhiri masa lajang penuh penantian yang melelahkan.

Wallahu a'lamu bis showab.
by Admin
on Sun Jun 28, 2009 2:50 pm
 
Search in: Artikel Islami
Topik: Pesan Untuk Para Calon Istri
Balasan: 0
Dilihat: 706

Keutamaan Sahabat Dalam Al-Quran

Keutamaan Sahabat Dalam Al-Quran


Kaum muslimin Ahlussunnah berkeyakinan bahwa para sahabat Nabi seluruhnya adalah ‘udul. ‘Udul artinya tidak berdusta secara sengaja terhadap Rasulullah SAW dikarenakan kekuatan iman, ketakwaan serta akhlak dan kepribadian mereka. Hal ini tidak berarti bahwa para sahabat adalah ma’shum (suci, terpelihara) dari dosa, kesalahan dan kekeliruan. Tak seorang pun yang mengatakan hal itu.

Kemuliaan-kemuliaan para sahabat bukan hanya berasal dari pengakuan Rasulullah SAW saja. Dalam Al-Quran, berkali-kali Allah memuji para sahabat dengan firman-Nya.

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian. (QS. Al-Baqarah: 143)

Mungkinkah Allah memilih saksi dari kalangan para pendusta? Maha suci Allah.

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. (QS. Ali Imran: 110)

Bahkan keutamaan dan kemulian para sahabat telah disebutkan dalam kitab-kitab umat terdahulu.

Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS. Al-Fath: 29)

Setelah usai perang Tabuk (perang terakhir yang diikuti oleh Rasulullah SAW), turunlah ayat berikut ini:

Sesungguhnya Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang Ansar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima tobat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka, (QS. At-Taubah: 117)

Lebih khusus lagi, Allah memuji para sahabat yang ikut dalam Baiat Ridhwan:

Sesungguhnya Allah telah rida terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). (QS. Al-Fath: 18)

Juga para Asabiqunal Awwalun (yang paling awal Islamnya) dari kalangan Muhajirin dan Anshar.

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. (QS. At-Taubah: 100)

Dalam ayat lain, Allah memberikan gelar bagi para Muhajirin dengan gelar “orang-orang yang benar”. Sedangkan Anshar digelari “orang-orang yang beruntung”.

(Juga) bagi para fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridaan (Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.

Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Ansar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.
(QS. Al-Hasyr: 8-9)

Dalam ayat setelahnya, Allah menyebutkan sifat-sifat para sahabat:

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang". (QS. Al-Hasyr: 10)

Kendatipun kita diperintahkan untuk mengikuti para sahabat, akan tetapi tingkat kemuliaan mereka tidaklah sama, melainkan berbeda antara sahabat dengan sahabat lainnya. Tidaklah sama antara para sahabat yang dijamin oleh Rasulullah SAW akan masuk surga dengan yang tidak. Tidak sama pula antara mereka yang selalu ikut berjihad bersama Rasulullah SAW, menjadi utusan beliau untuk berdakwah ke negeri-negeri lain, dengan yang tidak. Namun mereka semua masuk ke dalam golongan Ashabul Yamin (golongan kanan) yang disebutkan dalam Al-Quran:

Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk surga). Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah). Berada dalam surga kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu, dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian. (QS. Al-Waqi’ah: 10-14)

Berikut ini bukti perlindungan Allah terhadap Rasulullah:

Dan jika mereka bermaksud hendak menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindungmu). Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mu'min, dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Anfal: 62-63)

Selain ayat-ayat Al-Quran, banyak sekali hadis-hadis Nabi yang menyebutkan keutamaan dan kemuliaan para sahabat, di antaranya adalah,

Janganlah kamu mencaci-maki sahabat-sahabatku. Andaikan salah seorang di antara kalian menafkahkan emas sebesar gunung Uhud, tidak akan mencapai satu Mudd (cupak) atau separonya dari yang telah mereka (para sahabat) infakkan. (Mashabih Sunnah)

Abdul Qadir Al-Baghdadi berkata, “Kaum muslimin Ahlussunnah bersepakat (berkeyakinan) bahwa para sahabat yang ikut serta bersama Rasulullah SAW dalam perang Badar, mereka semua masuk surga. Demikian pula mereka yang ikut serta dalam perang Uhud, kecuali Qazman yang dikecualikan oleh berita yang ada. Begitu juga mereka yang ikut serta dalam Baiat Ridhwan di Hudaibiyah…”

Al-Khatib Al-Baghdadi berkata, “Bahkan andaikan tidak ada sama sekali penjelasan dari Allah maupun Rasulullah SAW mengenai mereka (para sahabat) sebagaimana yang telah kita sebutkan, maka cukuplah perbuatan-perbuatan mereka bersama Rasulullah, yaitu berhijrah, berjihad, membela, mempertaruhkan harta dan jiwa, membunuh ayah dan anak (dalam peperangan), saling mengingatkan dalam masalah agama, serta kekuatan iman dan keyakinan mereka, cukuplah semua itu menjadi bukti kejujuran dan ketulusan mereka serta menunjukkan keyakinan bahwa mereka adalah sebaik-baik orang yang dimuliakan dan disucikan daripada orang-orang setelah mereka.”

Imam Abu Zur’ah berkata, “Jika kamu melihat seseorang menghina salah seorang sahabat Rasulullah SAW, maka ketahuilah bahwa ia adalah seorang Zindik, karena Rasulullah adalah haq (benar), Al-Quran adalah haq, dan yang menyampaikan Al-Quran dan Sunnah ini kepada kita adalah mereka (para sahabat). Sesungguhnya mereka ingin mencederai para saksi kita (para sahabat) untuk menanggalkan Al-Quran dan Sunnah. Padahal merekalah yang sebenarnya lebih berhak untuk dicederai, mereka adalah para Zindik”.

Sebagaimana kita ketahui, para sahabat adalah orang-orang yang telah menyampaikan pesan Allah dalam Al-Quran dan pesan Rasulullah dalam Sunnah kepada generasi setelah mereka. Oleh karena itu, para musuh Islam berusaha melenyapkan ajaran Islam dengan cara mencemarkan nama baik orang-orang yang membawanya. Mereka melakukan semua itu agar orang beranggapan bahwa Rasulullah SAW telah gagal mendidik para sahabatnya, sehingga orang akan ragu terhadap kebenaran yang dibawa oleh para sahabat. Wallahu A’lam Bis Showab.
by Admin
on Sun Jun 28, 2009 2:47 pm
 
Search in: Akidah Tauhid
Topik: Keutamaan Sahabat Dalam Al-Quran
Balasan: 0
Dilihat: 3172

Hukum Penggunaan Hadits Dla'if

Hukum Penggunaan Hadis Dhaif (2)

Berikut ini kami sajikan ulasan mengenai perbedaan mazhab para ulama dalam menyikapi hadis dhaif:
(Nukilan dari kitab Manhaj an Naqd fi Ulumil Hadis, Dr Nuruddin Eter, hal 291-297)

Mazhab pertama, mereka mengatakan bahwa hadis dhaif boleh diamalkan secara mutlak, baik dalam masalah halal, haram, fardh maupun wajib dengan syarat tidak ditemukan hadis lain dalam bab tersebut. Pendapat ini dipilih oleh beberapa ulama seperti Imam Ahmad, Abu Dawud dan lain-lain.

Yang dimaksud dengan hadis dhaif di sini adalah hadis yang kadar kedhaifannya tidak parah -- karena sudah jelas bahwa hadis yang keadaannya demikian pasti ditinggalkan oleh para ulama -- dan juga tidak ada hadis lain yang menyelisihinya.

Adanya kemungkinan bahwa hadis yang dinilai dhaif tersebut mengandung kebenaran sementara tak ada hadis lain yang menyelisihinya, maka hal ini menjadi alasan kuat bahwa hadis tersebut memiliki kemungkinan sahih sehingga boleh diamalkan.

Al-Hafizh Ibnu Mandah meriwayatkan bahwa ia mendengar Muhammad bin Sa'd Al Bawardi berkata: "Konsep yang dipakai oleh Imam Nasa'i adalah bahwa beliau menyebutkan setiap hadis yang tidak ada kesepakatan –- dari para ulama -- untuk meninggalkannya". Ibnu Mandah menambahkan, "Demikian pula Abu Dawud menyetujui pendapat tersebut. Beliau menyebutkan riwayat-riwayat lemah (dhaif) jika tidak ditemukan hadis lain dalam suatu bab karena hadis tersebut dianggapnya lebih kuat daripada pendapat murni seseorang".

Mazhab ini juga diikuti oleh Imam Ahmad, beliau mengatakan: "hadis dhaif lebih aku sukai daripada pendapat pribadi seseorang", karena beliau tidak beralih kepada Qiyas kecuali setelah dipastikan bahwa benar-benar tidak ada nash.

Beberapa ulama mentakwilkan riwayat-riwayat tersebut dengan mengatakan bahwa yang dimaksud hadis dhaif tersebut bukanlah hadis-hadis dhaif menurut istilah Ilmu Hadis melainkan yang dimaksud adalah hadis hasan, karena hadis tersebut bermakna lemah (dhaif) dibandingkan hadis sahih.

Akan tetapi, menurut kami takwil tersebut bermasalah sebagaimana dikatakan oleh Imam Abu Dawud: "ada beberapa hadis dalam kitabku, As-Sunan yang sanadnya tidak tersambung (terputus), yaitu mursal dan mudallas, hal itu dikarenakan tidak adanya hadis-hadis sahih pada (riwayat) para ahli hadis secara umum yang bersambung (muttashil). Contohnya seperti riwayat Al-Hasan dari Jabir, Al-Hasan dari Abu Hurairah, Al-Hakam dari Muqsim dari Ibnu Abbas…".

Imam Abu Dawud menganggap hadis yang tidak tersambung (sanadnya) boleh diamalkan ketika tidak ditemukan hadis sahih, padahal sebagaimana diketahui bahwasannya hadis munqathi' (terputus sanadnya) merupakan salah satu jenis hadis dhaif.

Demikian pula jika yang dimaksud dengan hadis dhaif tersebut adalah hadis hasan maka tak ada artinya para Imam mengkhususkan hadis tersebut untuk diamalkan dengan alasan bahwa ia lebih baik daripada Qiyas, karena yang demikian itu telah disepakati mayoritas Ulama.

Mazhab kedua, mereka mengatakan bahwa beramal dengan hadis dhaif hukumnya mustahabb (disukai) dalam hal keutamaan-keutamaan (fadhail). Ini adalah pendapat mayoritas (Jumhur) Ulama ahli hadis, ahli fikih dan lain-lain. Imam Nawawi mengatakan bahwa pendapat ini menjadi kesepakatan di antara para ulama, demikian pula Syaikh Ali Al-Qari dan Ibnu Hajar Al-Haitami.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Asqalani menjelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi, berikut ini cuplikan perkataan beliau:

"Persyaratan yang harus dipenuhi dalam mengamalkan hadis dhaif ada tiga: Pertama, telah disepakati, yaitu bahwa hadis dhaif tersebut tidak parah kedhaifannya. Oleh karena itu, hadis yang diriwayatkan oleh seorang pendusta (kazzab), atau orang yang tertuduh berdusta (muttaham bil kadzib) atau orang yang memiliki kesalahan fatal tidak termasuk dalam kategori ini. Kedua, hadis tersebut harus berada dalam koridor Syariat Islam secara umum. Oleh karena itu, hadis yang sengaja dibuat-buat padahal tidak memiliki dasar sama sekali dalam Syariat Islam tidak dapat diterima. Ketiga, ketika mengamalkan hadis tersebut tidak disertai keyakinan bahwa hadis tersebut benar-benar berasal dari Rasulullah saw, dengan tujuan agar tidak terjadi penyandaran sesuatu yang tidak pada tempatnya".

Ibnu Hajar Al-Haitami lebih mengarahkan pada pengamalan hadis dhaif dalam masalah keutamaa-keutamaan amal, beliau menyebutkan: "para ulama telah bersepakat mengenai bolehnya mengamalkan hadis dhaif dalam hal keutamaan-keutamaan amal, karena andaikan hadis tersebut ternyata benar keberadaannya (sahih), maka dengan mengamalkannya berarti hak-hak hadis tersebut telah terpenuhi. Kalaupun tidak demikian –- terbukti dhaif -- maka hal tersebut tidak akan menimbulkan pengaruh buruk apapun seperti menghalalkan atau mengharamkan sesuatu atau hilangnya hak orang lain".

Mazhab ketiga, mereka mengatakan bahwa mengamalkan hadis dhaif adalah tidak boleh secara mutlak, baik dalam masalah fadhail amal maupun halal dan haram. Pendapat ini diklaim sebagai pendapat Al-Qadhi Abu Bakr Ibnul Arabi.

Asy-Syihab Al-Khafaji dan Al-Jalal Ad-Dawani juga berpendapat demikian. Beberapa penulis kontemporer lebih cenderung memilih pendapat ini dengan alasan bahwa perkara-perkara tersebut di atas sama hukumnya seperti halal dan haram karena semuanya merupakan perkara syar'i. Lagipula hadis-hadis shahih dan hasan sudah mencukupi dan tidak diperlukan lagi hadis dhaif.

Demikianlah, permasalahan ini mengundang banyak polemik dan perdebatan-perdebatan yang sangat panjang yang insyaallah akan kita kupas di lain tempat. Kendatipun demikian, tampak bahwa pendapat yang bersifat paling menengahi di antara mazhab-mazhab tersebut adalah pendapat kedua. Hal itu dikarenakan kami menimbang persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh para ulama dalam masalah beramal dengan hadis dhaif tersebut yang menunjukkan bahwa hadis dhaif yang menjadi perdebatan di sini bukanlah hadis yang telah divonis palsu, melainkan hadis yang belum jelas kebenarannya (validitas) sehingga masih menyisakan peluang, dan kemungkinan ini dapat terselesaikan ketika tidak ditemukan hadis lain yang menentangnya atau jika hadis tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip Islam sehingga dibenarkan beramal dengan hadis tersebut demi menjaga hak-haknya.

Adapun anggapan sebagian orang yang mengatakan bahwa beramal dengan hadis dhaif dalam masalah fadhail adalah sama dengan menciptakan ibadah baru dan membuat aturan baru dalam agama yang tidak direstui oleh Allah swt, maka hal itu telah dijawab oleh para ulama, mereka mengatakan bahwa dianjurkannya beramal adalah sejalan dengan prinsip-prinsip dasar Islam yang menganjurkan beramal demi menjaga (berhati-hati) dalam masalah agama. Beramal dengan hadis dhaif termasuk dalam kategori ini, dengan demikian tak terdapat penambahan apapun dalam syariat Islam.

Menurut pandangan saya (DR. Nuruddin 'Eter), seseorang yang mengamati persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh para ulama tersebut menafikan adanya peluang untuk menambah hal-hal baru dalam syariat. Hal itu tampak jelas dari syarat mereka bahwa sebuah hadis dhaif diharuskan tidak keluar dari koridor syariat dan prinsip-prinsip syar'i yang sudah baku secara umum. Oleh karena itu, status hukum asal hal ini adalah legal menurut hukum syar'i, baru kemudian muncullah hadis dhaif tersebut yang sejalan dengan syariat.

Contoh:

Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya, sebagai berikut:

Abu Ahmad al-Marrar bin Hammuyah mengabarkan kami, ia berkata: Muhammad bin Mushaffa mengabarkan kami, ia berkata: Baqiyyah bin Al-Walid mengabarkan kami dari Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Mi'dan dari Abu Umamah dari Rasulullah saw bahwasannya beliau bersabda: "Barangsiapa yang mendirikan shalat pada dua malam hari raya dengan mengharapkan ridha Allah, maka hatinya takkan mati di saat hati-hati yang lain sedang mati".

Pada sanad tersebut, para perawinya adalah Tsiqat, kecuali Tsaur bin Yazid, ia dituduh dengan tuduhan bid'ah Qadariyah. Akan tetapi dalam hal ini ia meriwayatkan hadis yang tidak ada sangkut pautnya dengan kebid'ahannya tersebut sehingga tidak berpengaruh terhadap hadisnya. Muhamad bin Mushaffa adalah seorang yang sangat jujur (Shaduq), ia banyak meriwayatkan hadis sehingga Ibnu Hajar memberikan label "Hafizh" kepadanya. Adz-Dzahabi berkomentar bahwa ia adalah seorang tsiqah masyhur (sangat terpercaya dan populer), akan tetapi dalam riwayat-riwayatnya terdapat beberapa riwayat yang munkar. Dalam sanad tersebut juga terdapat Baqiyyah bin Al-Walid, dia termasuk di antara jajaran para imam huffahz yang sangat jujur. Akan tetapi ia sering sekali melakukan tadlis (pengaburan) dari para perawi lemah (dhaif). Imam Muslim menukil riwayatnya hanya sebagai penguat saja (mutaba'ah). Sementara dia (Baqiyyah) tidak menyebutkan secara terus terang bahwa ia benar-benar telah mendengar hadis tersebut (hadis mu'an'an), sehingga hadis tersebut dianggap dhaif.

Para ulama berpendapat bahwa menghidupkan dua malam hari raya, baik dengan berzikir maupun ibadah-ibadah lainnya hukumnya sunnah (mustahab) sesuai dengan hadis dhaif ini, karena hadis dhaif boleh diamalkan dalam hal keutamaan-keutamaan amal sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya, Al-Adzkar.

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa qiyamullail (shalat pada malam hari) dan mengisi malam hari dengan ibadah adalah sesuai anjuran agama sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah yang mutawatir. Mendekatkan diri kepada Allah dengan cara berdoa, berzikir dan lain sebagainya adalah perkara yang dianjurkan di setiap waktu dan tempat, termasuk dua malam hari raya.

Di sini tampak jelas bahwa hadis tersebut tidaklah membawa ajaran baru, melainkan membawa sesuatu yang bersifat parsial yang sejalan dengan prinsip-prinsip Syariat dan teks-teks syar'I secara umum sehingga tidak diragukan lagi bahwa beramal dengan hadis tersebut hukumnya adalah boleh.

Cara Meriwayatkan Hadis Dhaif

Adapun sekedar meriwayatkan hadis dhaif dalam masalah selain akidah, hukum halal dan haram, seperti dalam masalah anjuran (targhib) dan ancaman (tarhib), kisah, nasehat dan semisalnya, para ulama telah membolehkannya selama hadis tersebut tidak divonis maudhu' (palsu) atau sejenisnya, meskipun tanpa menerangkan bahwa hadis tersebut adalah dhaif. Riwayat-riwayat semacam ini sangatlah banyak dan populer. Al-Khatib Al-Baghdadi menyebutkan sejumlah riwayat hadis dhaif dalam kitabnya, Al-Kifayah.

Demikian pula Imam Ahmad, beliau mengatakan: "apabila kami meriwayatkan hadis-hadis dari Rasulullah saw yang berkenaan dengan hukum halal dan haram, sunnah dan hukum-hukum lainnya maka kami memperketat dalam masalah sanad, adapun jika berkenaan dengan fadhail amal ataupun yang tidak berhubungan dengan hukum maka kami mempermudahnya".

Kendatipun demikian, para ulama tetap memperhatikan sisi ketelitian dalam periwayatan mereka. Mereka tidak meriwayatkan hadis-hadis dhaif dengan ungkapan jazm (pasti) ketika menyebutkan bahwa hadis itu berasal dari Rasulullah saw. Oleh karena itu, seseorang tidak diperbolehkan meriwayatkan hadis dhaif dengan ungkapan: "Rasulullah saw bersabda demikian", atau "beliau melakukan hal demikian" atau "beliau menyuruh demikian" atau kalimat-kalimat sejenisnya yang memberi kesan jazm (kepastian) bahwa semua itu benar-benar berasal dari Rasulullah saw. Akan tetapi, lafal yang harus digunakan adalah: "diriwayatkan bahwa Rasulullah saw berkata demikian", atau "terdapat kabar dari Rasulullah bahwa beliau mengatakan demikian", "diceritakan bahwa beliau berkata demikian" atau kalimat-kalimat sejenisnya.

Adapun riwayat yang masih mengandung keraguan, maka dapat digunakan kalimat: "Rasulullah saw bersabda demikian, dengan asumsi bahwa riwayat ini benar (sahih atau hasan)".

Akan tetapi para ulama terdahulu sering menggunakan kalimat "ruwiya" untuk hadis-hadis yang sahih dengan asumsi bahwa hadis tersebut sudah sangat populer di kalangan mereka pada waktu itu, sebagaimana akan kita bahas pada bab tersendiri mengenai hadis mu'allaq, insyaallah.


[Selesai nukilan dari kitab Manhaj an Naqd fi Ulumil Hadis, hal 291-297]
by Admin
on Sun Jun 28, 2009 2:44 pm
 
Search in: Hadits dan Mustholah
Topik: Hukum Penggunaan Hadits Dla'if
Balasan: 1
Dilihat: 2136

Don't Cry, Ketika Mencintai, Tak Bisa Menikahi

Don't Cry, Ketika Mencintai, Tak Bisa Menikahi

Sungguh, merupakan hal yang sangat menyakitkan hati. Ketika cinta kita ditolak oleh seeorang yang sangat kita harapkan cintanya. Sebahagaian dari kita mungkin akan langsung berfikir sepertinya Allah tidak adil. Langit terasa muram dan tidak bercahaya. Bukankah cinta kita benar-benar tulus dan murni. Untuk mehjaga diri dari dosa, menjaga pandangan, menjaga hati, bahkan demi menjaga kesucian agamaNya? Apa yang salah pada diri kita? Tidak layakkah kita mendapakan janjinya, "Jika kamu menolong agama (Allah), niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu." (QS. Muhammad : 7).

Begitu mahalkah tiket untuk mendapatkan pertolonganNya, lantas di manakah janjiNya, "Berdo'alah kepadaKu, niscaya akan Kuperkenankan bagimu." (QS. Al-Mu'min : 60).

Ya, sebenarnya faktor yang paling utama mengapa keinginanmu belum dikabulkan, padahal usia sudah waktunya, tujuan sudah mulia, bahkan mungkin kemampuan sudah ada. Hanya satu faktor penyebabnya. Yaitu perbedaan persepsi antara kita dan Allah. Kita seringkali menganggap bahwasanya apa-apa yang sesuai dengan keinginan kita itulah yang terbaik bagi kita, padahal tidak selamanya loh, (baca QS. Al-Baqarah : 216).

Dari ayat tersebut, kita tahu bahwa ada hikmah dibalik setiap kejadian apapun yang menimpa kita, ada kebaikan dibalik sesuatu yang kita anggap buruk, demikian pula sebaliknya.

Agaknya tidak ada salahnya jika kita sedikit mendengar penuturan Ibnu Al-Jauzy yang mengajarkan, "Jika anda tidak mampu menangkap hikmah, bukan karena hikmah itu tidak ada, namun semua itu akibat kelemahan daya ingat anda sendiri. Anda kemudian harus tahu bahwa para raja pun memiliki rahasia yang tidak diketahui setiap orang. Bagaimana mungkin anda dengan segala kelemahan anda akan sanggup mengungkap sebuah hikmah?"

Betapa berat pun sebuah ujian yang kita alami, pasti akan ada jalan keluarnya. Allah menyatakan, "Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya." (QS. Al-An'am : 152). Dalam ayat yang lain, Allah berfirman, "Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tak disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan baginya keperluannya." (QS. At-Thalaq : 2-3).

Yakinilah bahwa kegagalan cinta yang kita alami, tertolaknya cinta yang kita ajukan, sudah dirancang sedemikian rupa skenarionya oleh Allah. Sehingga tidak perlu menyikapinya secara berlebihan. Daripada kita larut dalam kesedihan, menagis, menyesali diri, patah hati atau bunuh diri. Lebih baik kita berbaik sangka saja kepada Allah. Tidak pantas diri ini mengeluh apalagi menyesali sebuah kegagalan. Bersikaplah positif ke depan. Yakinlah bahwasannya kegagalan cinta bukanlah akhir dari segalanya, bukanlah awal dari sebuah kehancuran.

Sejarah mencatat, banyak sekali pribadi-pribadi sukses di dunia ini mengawali kesuksesannya setelah ditimpa berkali-kali gagal dalam usaha mereka, begitu juga tentang urusan cinta. Sebagai manusia, kita dibekali potensi yang sedemikian hebatnya oleh Allah. Dan terkadang potensi yang ada pada diri kita justru baru kita ketahui setelah kita menghadapi beberapa kali kegagalan.

Aa Gym pernah mengatakan, "Jika nasi sudah menjadi bubur, maka kita harus mulai memikirkan ayam, cakwe, sledri, bawang goreng, dan sambel, sehingga bubur kita akan menjadi bubur ayam yang spesial." Karena itu, satu orang yang menolak cinta kita seharusnya tidak menjadikan kita lupa pada puluhan bahkan ratusan orang lain yang menyayangi kita. Namun justru seharusnya menjadi cambuk bagi diri kita untuk menjadi lebih baik.

***


Ayo Terus Perbaiki Kekurangan Diri

Mungkin kita merasa bahwa kita sudah siap dan mampu, kita merasa bahwa kita baik hati, tidak sombong, berasal dari keluarga baik-baik, punya ilmu agama yang cukup memadai, pribadi oke, wajah pun tidak mengecewakan. Tapi mengapa dia masih tidak bersedia? Keluarganya menolak. Kriteria seperti apa lagi yang keluarganya dambakan? Sekali lagi, cinta tidak bisa dipaksakan, mungkin ada beberapa kriteria lain yang belum kita miliki, yaitu kriteria yang baginya adalah paling prioritas di antara kriteria lainnya dan hal itu merupakan daya tarik tersendiri bagi mereka.

Kalau sudah begitu, mari kita jadikan momen penolakan tersebut sebagai momen kita untuk mencari tahu dan memperbaiki terus kekurangan-kekurangan kita. Sekali ditolak, berarti satu perubahan ke arah yang lebih baik, dua kali ditolak, dua perubahan, sehingga pada akhirnya, ketika Allah mengirimkan seseorang yang terbaik menurutNya kepada kita, orang tersebut akan terpana dan berkata "Waaa... Istri/suamiku ternyata keren sekaliii."

Ingat, kita harus selalu berusaha memperbaiki kekurangan diri, menjadikan setiap kegagalan sebagai batu loncatan ke arah kesuksesan, melecutkan kemampuan, membangun potensi yang selama ini terpendam, memacu semangat dalam diri. Seorang pemenang tidak dilahirkan, tetapi harus diciptakan.


Sumber: http://azuraakhfiya.multiply.com/journal/item/9/Dont_Cry_Ketika_Mencintai_Tak_Bisa_Menikahi
by Admin
on Sun Jun 28, 2009 2:32 pm
 
Search in: Artikel Islami
Topik: Don't Cry, Ketika Mencintai, Tak Bisa Menikahi
Balasan: 0
Dilihat: 589

Yahya Bin Syaraf An-Nawawi

Yahya Bin Syaraf An-Nawawi

Oleh: Umar M Noor, MA


Hari itu, di aula gedung pengadilan (dar ul-‘adl) berlangsung acara tatap muka antara Raja Baibers Al-Bundakdari dengan para ulama. Penguasa Damascus ini berusaha menarik dukungan ulama guna melegitimasi niatnya untuk menambahkan pajak rakyat guna membiayai perang Arab-Mongol yang sedang berkecamuk pada saat itu. Satu persatu ulama itu mengemukakan pendapatnya. Mereka setuju, tentu dalam tekanan, dengan kebijakan menambah pajak itu hingga tiba giliran seorang ulama terakhir yang belum mengemukan pendapatnya. Ulama yang satu ini masih tampak belia. Kulitnya putih, jenggotnya tebal dan penampilannya sangat berwibawa.

Tokoh ini lalu berdiri dan mulai berbicara. Tidak seperti ulama lainnya yang hadir di ruangan itu, ia menyatakan ketidak setujuannya. Menurutnya rakyat pada saat itu sudah cukup tercekik akibat paceklik dan krisis ekonomi karena perang. Maka tidak pantas ditambahkan beban mereka dengan tambahan pajak yang sebenarnya bisa dihindari. Bukankah keluarga kerajaan dan para pejabat hidup dalam kemewahan? Kekayaan mereka berlimpah ruah, bahkan sangat berlebihan dari kebutuhan. Mengapa mereka tidak mengeratkan sedikit ikat pinggang dan berkorban demi negara sambil berpartisipasi dalam penderitaan rakyat? Dengan begitu, masalah biaya perang akan teratasi sekaligus mengurangi kesenjangan sosial yang telah melebar.

Tokoh ulama ini terus mengajukan kritiknya di hadapan raja. Penguasa Damaskus yang perkasa mengusir Mongol dari tanah Syam itu hanya bisa terdiam. Mukanya merah padam menahan marah. Akhirnya pertemuan itu ditutup dengan keputusan membatalkan niat raja menambahkan pajak rakyat. Setelah para ulama itu bubar meninggalkan aula, raja yang sejak tadi menahan emosinya itu memanggil ajudannya.

Ia berkata, “Selidiki orang itu. Jika ia seorang guru di sebuah sekolah, perintahkan rektor sekolah itu untuk memotong gaji dan tunjangannya!”

Dengan takut-takut, ajudan itu berkata, “Maaf tuanku. Gaji dan tunjangan orang itu tidak bisa dipotong.”

“Mengapa?” Tanya raja dengan nada keras.

“Sebab,” ajudan itu menjawab, “orang tersebut memang tidak bersedia menerima gaji dan tunjangan apapun.”

Raja tertegun. Ia baru menyadari kebesaran tokoh yang dihadapinya. Raja berkata, “Demi Allah, ketika ia berbicara tadi, sebenarnya aku hendak memerintahkan seseorang untuk memenggalnya. Namun aku melihat dua ekor singa besar berdiri di belakangnya siap menerkamku. Oleh karena itu, aku hanya bisa terdiam ketakutan.”

Keajaiban

Siapa tokoh yang sedang kita bicarakan ini? Beliau adalah pemimpin mazhab Syafii di Damaskus, Imam Yahya bin Syaraf An-Nawawi bergelar Muhyiddin dan Muhyi Sunnah (penghidup agama dan sunnah Nabi Saw). Hidup An-Nawawi sangat singkat, namun sarat berkah dan penuh manfaat. Jika kita hitung lembaran buku-buku karangannya, lalu kita bandingkan dengan hari-hari sepanjang hidupnya, kita akan mendapati lembaran tulisannya ini jauh lebih banyak dari usianya. Kehadiran An-Nawawi di dunia ini seolah hanya untuk sebuah tugas penting. Segera setelah tugas itu rampung, An-Nawawi pergi meninggalkan dunia ini.

Beliau dilahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H. di desa Nawa, sekitar 90 km selatan kota Damaskus, dari kedua orang tua yang sangat saleh. Di desa kelahirannya, Yahya An-Nawawi menimba ilmu dari bapaknya, Abu Yahya Al-Hizami, dan Syeikh Yasin bin bin Yusuf Az-Zarkasyi. Tanda-tanda kecerdasan dan kezuhudan telah tampak pada diri An-Nawawi sejak kecil. Syeikh Yasin, gurunya, berkata, “Aku pernah melihat An-Nawawi kecil melarikan diri dari teman-temannya sambil menangis karena mereka memaksanya untuk bermain. Ia lalu membaca Al-Qur’an. Melihat hal itu, tumbuh rasa cinta di hatiku. Bapaknya menyuruhnya untuk menjaga toko, namun jual-beli tetap tak menyibukkannya dari membaca al-Qur’an. Aku lalu berkata kepada ayahnya: ‘Anak ini kelak akan menjadi orang ter’alim dan terzuhud di masanya.’”

Berusia 19 tahun, An-Nawawi datang ke Damaskus abad ke-7 hijriah yang kaya dengan ilmu dan ulama. Keajaiban masa kecilnya di Nawa kembali berulang di Damaskus. Ia menghafal Tanbih (kitab fiqih terbesar dalam mazhab Syafii) hanya dalam masa empat bulan. Menyusul referensi-referensi penting lainnya. Setiap hari, ia menghadiri dua belas pelajaran dari guru-guru yang berbeda dan di tempat-tempat yang berjauhan. Makanan yang menghidupinya di kota ini hanya sedikit kiriman yang diberikan ayahnya setiap minggu. Singkat kata, jauh dari pengawasan orang tua di tanah rantau, dengan bekal yang sangat minim, tidak membuat tokoh besar ini lupa diri. Tak ada hura-hura dan santai-santai di kamus orang besar. Sebaliknya, waktu dan kesempatan dipandang sebagai barang berharga yang tidak boleh lepas begitu saja. Dan cara pandang ini yang menghantarkan An-Nawawi menjadi tokoh terkemuka di Damaskus.

Masyarakat mengenal An-Nawawi sebagai seorang ulama yang benar-benar mewarisi peninggalan Nabi Saw. Ia seorang alim yang penuh dengan ilmu, seorang tokoh agama yang gigih mempertahankan sunnah dan memerangi bid’ah sekaligus seorang tokoh masyarakat yang mampu menyampaikan jeritan batin rakyat namun zuhud dari semua jabatan. Bayangkan kisah di atas. Andai An-Nawawi menyimpan ambisi politis tertentu dengan mengatas-namakan rakyat --seperti yang terjadi pada kebanyakan ulama dan tokoh-tokoh politik kita zaman ini; mereka mengeksploitasi rakyat demi kursi kepemimpinan-- niscaya tak akan ada pertolongan Allah Swt untuknya. Dan tidak mungkin penguasa Damaskus merungkut ketakutan mendengarkan kritik pedasnya. Keikhlasan memang selalu membawa keajaiban.

Tajuddin As-Subki berkata, “An-Nawawi mengajar di Darul Hadits Al Asyrafiah dan lain-lain, namun enggan menerima gaji sepeserpun. Ia juga enggan pindah dari tempat tinggalnya yang terletak di Rawahiah meski kondisi rumah itu sangat memprihatinkan. Ia hanya minum satu kali sehari, yakni sebelum subuh. Ia tidak mau memakan buah-buahan Damaskus dan enggan menerima apapun dari orang lain.” Syeikh Muhammad Al-Akhmimi berkata, “Syeikh An-Nawawi berjalan sesuai cara hidup para sahabat Nabi Saw. Aku tak melihat orang lain di masanya yang berjalan dengan cara hidup mereka selain beliau.”

Suatu hari Alauddin Al-Athhar, murid utama An-Nawawi, keheranan. Syeikhnya menerima sebuah kendi pemberian seseorang. Padahal selama ini Syeikh selalu enggan menerima apapun dari orang lain. An-Nawawi berkata, “Kendi ini perlengkapan seorang musafir. Maka aku menerimanya.” Beberapa hari kemudian ia berziarah ke Baitul Maqdis, mengembalikan semua buku pinjaman dan pulang ke Nawa. Pada tanggal 24 Rajab 676 H, dalam usia 45 tahun, mutiara Damaskus ini meninggal dunia dan dimakamkan di desa kelahirannya.

* Penulis adalah alumni UIN Syarif Hidayatullah (S.1) dan Universitas Umm Darman Sudan cabang Damaskus-Suriah (S.2)
by Admin
on Thu Jun 18, 2009 10:41 am
 
Search in: Siroh Nabawiyah, Sahabat, dan Ulama
Topik: Yahya Bin Syaraf An-Nawawi
Balasan: 0
Dilihat: 743

Air mani, najis atau suci?

Hukum air mani

Studi Perbandingan Mazhab


Para Ulama bersepakat bahwa membersihkan pakaian atau badan dari air mani adalah disyariatkan. Namun mereka berbeda pendapat mengenai kesucian air mani tersebut. Apakah air mani itu suci atau najis. Jika najis bagaimana cara menyucikannya, apakah cukup dengan dikerik atau diusap dengan kain ataukah harus dicuci dengan air. Berikut ini penjelasan secara rinci mengenai hal tersebut:

1. Pendapat pertama

Mereka mengatakan bahwa air mani adalah suci dan tidak wajib membersihkannya. Ini adalah mazhab Imam Syafi’I dan pendapat termasyhur dalam mazhab Imam Ahmad. Juga diriwayatkan dari Aisyah, Ibnu Abbas, Sa'd bin Abi Waqqash dan Ibnu Umar.

Dengan dalil sebagai berikut:

1. Firman Allah:

“Dan Kami telah memuliakan anak cucu Adam” (QS. Al Isra: 70)

Ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah telah memuliakan manusia, sedangkan manusia berasal dari air mani. Maka, bagaimana mungkin makhluk yang telah dimuliakan oleh Allah berasal dari sesuatu yang najis.

2. Dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata: Rasulullah pernah ditanya tentang air mani yang mengenai pakaian, maka beliau menjawab: “Hanyasanya air mani itu adalah seperti ingus dan air ludah, dan cukup kamu mengusapnya dengan sepotong kain atau dengan daun idkhir”.

Dalam hadits ini, Rasulullah SAW menyerupakan air mani dengan ingus dan air ludah, sedangkan para ulama tak ada yang berselisih tentang kesucian kedua cairan tersebut (yakni ingus dan air ludah). Tata cara yang beliau ajarkan dalam membersihkan air mani juga mengisyaratkan bahwa air mani itu tidak najis. Karena pada dasarnya membersihkan najis adalah dengan air dan tidak cukup dengan mengusapnya dengan kain atau daun.

3. Dari Aisyah r.a. ia berkata: “Aku pernah mengerik mani dari pakaian Rasulullah SAW, kemudain beliau pergi sholat dengan pakaian tersebut”. Dalam riwayat Muslim, "Aku telah mengeriknya (mani) dari pakaian Rasulullah SAW, lalu beliau sholat dengannya (pakaian yang terkena mani tersebut).

Hadits ini serupa dengan hadits sebelumnya, melainkan cara membersihkan mani yang mengenai pakaian saja yang berbeda. Hadits ini juga menjadi dalil penguat bahwa air mani adalah suci, dengan alasan seandainya air mani adalah najis maka tidak cukup menyucikannya dengan mengeriknya.

Kesimpulannya, air mani adalah suci dan tidak wajib menyucikannya. Inilah pendapat kelompok pertama.

2. Pendapat kedua

Mereka berpendapat bahwa air mani adalah najis, wajib mencucinya jika basah dan mengeriknya jika kering. Ini adalah Mazhab Imam Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal.

Adapun dalil-dalil mereka sebagai berikut:

1) Firman Allah SWT, "Bukankah Aku telah menciptakan kalian dari air yang hina?" (QS. Al Mursalat: 20).

Ayat yang menyatakan bahwa Allah SWT telah memuliakan manusia tidaklah mengharuskan bahwa asal manusia juga mulia dan suci.

2) Hadits dari Aisyah r.a. ia berkata, "Dahulu aku mengerik mani dari pakaian Rasulullah SAW jika kering dan mencucinya jika basah".

Hadits ini menunjukkan bahwa mani adalah najis. Dengan alasan: pertama, jika air mani adalah suci maka tentu Aisyah akan membiarkannya pada pakaian Rasulullah SAW. Padahal kenyataannya, ia tidak pernah meninggalkan perbuatan itu dalam kondisi apapun, baik dalam keadaan basah maupun kering. Kedua, jika air mani itu suci, untuk apa Aisyah menyibukkan diri untuk menyucikan sesuatu yang memang telah suci sebelumnya, dan ini adalah tindakan sia-sia.

3) Hadits dari Aisyah r.a. bahwasannya Rasulullah SAW pernah berkata kepadanya, "Cucilah jika ia basah, dan keriklah jika kering".

Hadits ini juga menunjukkan wajibnya menyucikan mani, baik dalam keadaan basah maupun kering. Karena pada dasarnya perintah menunjukkan suatu keharusan.

4) Hadits dari Ammar bin Yasir r.a. bahwasannya Rasulullah SAW berkata, "Hanyasanya pakaian itu dicuci karena lima hal: air kencing, kotoran, darah, mani, dan muntahan", dalam riwayat lain: khomr sebagai ganti dari muntahan.

Dalam hadits ini secara jelas air mani disejajarkan dengan zat-zat yang najis seperti air kencing dsb. Tujuannya tak lain adalah menunjukkan kesamaan hukum hal-hal tersebut.

3. Pendapat ketiga

Pendapat ini mirip dengan pendapat kedua, hanya saja mereka tidak membedakan cara penyucian air mani tersebut dalam kondisi apapun. Mereka mengatakan air mani adalah najis dan wajib mencucinya, baik dalam keadaan basah maupun kering. Ini adalah mazhab Imam Malik, Umar bin Khattab, Anas bin Malik, Abu Hurairah, dan Sa'id bin Musayyab.

Dalil mereka adalah hadits dari Aisyah r.a. ketika menjawab pertanyaan Sulaiman bin Yasaar tentang mani yang mengenai pakaian, "Dahulu aku mencucinya dari pakaian Rasulullah SAW, lalu beliau keluar untuk sholat, sedangkan bekas cucian itu masih tampak pada pakain berupa sebercak air".

Ungkapan dalam hadits ini umum dan tidak ada keterangan khusus mengenai cara penyucian air mani dalam keadaan basah maupun kering. Jadi kesimpulannya, air mani adalah najis dan wajib mencucinya, baik dalam keadaan basah maupun kering.

Diskusi-diskusi

1. Diskusi seputar kelompok pertama
1. Kritik:

Dalil yang dipakai oleh Syafi'iyah (no. 3) adalah perbuatan Aisyah r.a., bukan perbuatan Nabi SAW, sehingga hal itu bukanlah sebuah hujjah (dalil yang kuat) tanpa perintah dari Rasulullah SAW, atau restu beliau. Ada kemungkinan perbuatan Aisyah tersebut tanpa sepengetahuan Nabi SAW. Sedangkan perbuatan Aisyah itu sendiri justru menunjukkan bahwa air mani adalah najis. Karena, jika tidak demikian tentu Aisyah pernah meninggalkan perbuatan tersebut meskipun hanya sekali.

Tanggapan Syafi'iyah:

Perkataan mereka bahwa perbuatan Aisyah adalah tanpa sepengetahuan Nabi SAW adalah tidak benar, karena di antara kebiasaan Nabi SAW sebelum menunaikan shalat adalah memeriksa kondisi seluruh badan dan pakaian beliau. Sudah barang tentu Rasulullah SAW yakin akan kesucian badan dan pakaian beliau ketika masuk shalat. Karena jika tidak demikian, maka shalat beliau tidak sah, dan hal itu mustahil terjadi. Kemudian mengenai pengerikan mani, hal itu bukan hanya perbuatan Aisyah melainkan Nabi SAW juga pernah melakukannya.

Pertama, diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwasannya Nabi SAW mengusap mani dari pakaiannya dengan daun idkhir, lalu shalat dengan pakaian tersebut. Adapun jika kering beliau mengeriknya, kemudian shalat.

Kedua, hadits shahih riwayat Jarud: bahwa suatu hari Aisyah kedatangan seorang tamu, kemudian tamu tersebut junub dan mencuci pakaiannya. Aisyah berkata kepadanya, "Dahulu Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk mengeriknya".

Adanya hadits yang menunjukkan bahwa Aisyah mengerik mani, kemudian perbuatan Nabi SAW sendiri, dan perintah darinya, semua itu menunjukkan kepada kita bahwa air mani adalah suci. Karena pada dasarnya menyucikan benda najis adalah dengan air, dan pengerikan bukan termasuk cara menyucikan benda najis. Adanya pengalihan cara dari mencuci kepada mengerik menandakan bahwa air mani adalah tidak najis.

Adapun perkataan mereka bahwa Aisyah tidak pernah meninggalkan perbuatan tersebut juga tidak benar. Hal itu terbantah oleh hadits shahih riwayat Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibban, Baihaqy, dan Ad Daruquthny dari Aisyah r.a., bahwasannya ia pernah mengerik mani dari pakaian Rasulullah SAW sementara beliau dalam keadaan shalat. Hadits ini sangat jelas menerangkan bahwa Nabi SAW pernah shalat sedangkan pada pakaiannya masih terdapat mani, lalu Aisyah mengeriknya sementara beliau dalam keadaan shalat. Berdirinya Nabi SAW untuk shalat sementara pada pakaiannya terdapat mani menunjukkan kesucian air mani. Sebaliknya, jika hal itu najis maka tentu shalat Nabi SAW tidak sah, dan hal itu tidak mungkin. Karena Allah SWT pasti akan memberitahukan kepada beliau melalui wahyu sebagaimana ketika sandal beliau terkena najis, lalu Allah SWT memberitahukan hal itu melalui wahyu-Nya.

Sementara belum ada dalil yang menunjukkan bahwa Nabi SAW menghentikan shalatnya atau mengulanginya, maka sekali lagi hal ini menunjukkan sahnya shalat beliau dengan mengenakan pakaian yang terkena air mani.

2. Komentar:

Jika air mani itu suci, lalu mengapa Aisyah bersegera untuk membersihkannya dari pakaian Rasulullah SAW?

Syafi'iyah menjawab:

Rasulullah SAW adalah makhluk yang paling mulia di hadapan Allah SWT, dan beliau menjadi teladan bagi umatnya. Maka tak pantas bagi seorang yang menjadi teladan, keadaannya tidak lebih baik dari yang meneladani. Terlebih, Islam datang dengan membawa ajaran kebersihan. Maka sudah sepantasnya, Aisyah membersihkan pakaian beliau dari hal-hal yang kurang pantas sebagaimana seseorang yang membersihkan pakaiannya dari ingus dan air ludah.

3. Komentar:

Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas tersebut di atas, pada riwayat yang shahih adalah hadits mauquf, sebagaimana dikatakan oleh Baihaqy. Sedangkan Ad Daruquthny mengatakan bahwa hadits tersebut tidak ada yang me-rafa-kan kecuali Ishaq bin Yusuf Al Azraqy.

Syafi'iyah menjawab:

Hal ini tidak mengapa, karena Ishaq bin Yusuf adalah salah seorang di antara imam pen-takhrij hadits di shahihain, maka rafa' dan tambahannya adalah bisa diterima.

2. Diskusi seputar kelompok kedua

1. Komentar:

Pertama, Hadits riwayat Aisyah r.a. (no.2) yang dipakai oleh Hanafiyah adalah hadits mauquf, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah tanpa perintah atau persetujuan dari Nabi SAW.

Kedua, perintah dari Nabi SAW untuk mencuci tidak pernah diriwayatkan dalam hadits shahih, sebagaimana akan dijelaskan nanti.

Ketiga, diamnya Nabi SAW terhadap perbuatan Aisyah r.a. tidak serta-merta menunjukkan keharusan, yaitu keharusan untuk membersihkan air mani. Akan tetapi, diamnya Nabi SAW adalah menunjukkan keutamaan membersihkan mani dari segi kesehatan dan kebersihan, karena beliau tidak pernah membatasi hanya dengan mencuci saja, dengan bukti hadits yang telah disebutkan sebelumnya mengenai pengerikan dan pengusapan.

Asy Syaukani menukil riwayat dari Al Hafizh Ibnu Hajar, bahwasannya beliau berkata, "Perintah untuk mencucinya (yaitu air mani), adalah tidak ada asalnya".

Al Kamal bin Himam dalam Fathul Qadir menyatakan bahwa hal itu adalah perbuatan Aisyah r.a. adapun Nabi SAW, apakah beliau menyuruhnya atau tidak, Allahu A'lam.

Az Zaila'iy dalam Nashbu ar Riwayah mengatakan bahwa hadits itu adalah hadits gharib. Ibnul Jauzy berkata, "hadits yang tidak pernah diketahui".

Adapun hadits Ammar bin Yasir, diriwayatkan dari jalur Tsabit bin Hammad. Mereka telah bersepakat untuk tidak mengambil hadits darinya. Maka dari itu, Baihaqy mengatakan bahwa hadits itu adalah bathil (tidak benar), karena Tsabit bin Hammad adalah muttaham (tertuduh).

Hanafiyah menjawab:

Kendatipun demikian halnya, kami masih memiliki hadits serupa dengan jalur yang lain, yaitu riwayat Ibrahim bin Zakaria dari Hammad bin Salamah dari Ali bin Zaid. Maka, bisa dijadikan hujjah.

2. Komentar:

Ibrahim bin Zakaria adalah dla'if. Al Hafizh mengomentari, "dia telah keliru, hadits tersebut yang meriwayatkan adalah Tsabit bin Hammad, bukan Hammad bin Salamah". Maka, tidak dapat dijadikan hujjah, terlebih hadits tersebut bertentangan dengan hadits Ibnu Abbas di atas.

3. Diskusi seputar kelompok ketiga

Hampir sama dengan diskusi poin kedua. Yaitu tidak adanya perintah Nabi SAW yang mewajibkan pencucian air mani.

Wallahu A'lam bishowab.
by Admin
on Thu Jun 18, 2009 10:36 am
 
Search in: Fikih dan Ushul Fikih
Topik: Air mani, najis atau suci?
Balasan: 0
Dilihat: 10076

Board Khusus Alumni

Assalamu'alaikum

Board ini disediakan khusus buat alumni Isy Karima. Bagi yang punya cerita-cerita menarik setelah kelulusan dan lain sebagainya silahkan di-share di sini.

Jazakumullah

Wassalamu'alaikum
by Admin
on Thu Jun 18, 2009 10:25 am
 
Search in: Alumni
Topik: Board Khusus Alumni
Balasan: 0
Dilihat: 692

Kembali Ke Atas

Halaman 1 dari 2 1, 2  Next

Navigasi: